Sudah dua hari sejak Zian menanyakan soal bapaknya pada Ryan dan Kinasih. Gadis itu masih bertegur sapa dengan mereka namun siapapun yang sudah mengenalnya dengan baik akan paham, bahwa sikap kecewanya itu juga sangat kentara. Zian mungkin pandai menutupi rasa sedih dan sakitnya, tapi ia tidak bisa menutupi rasa kecewanya. Baik Kinasih maupun Ryan bahkan Dipta dan Fira pun menyadari ada beberapa perubahan sikap dari diri Zian.
"Mbak ada semur jengkol dari mama," tutur Dio yang baru saja masuk ke rumah Zian sembari meletakkan rantang di atas meja makan.
Zian meraihnya, mendekatkan kepalanya ke rantang itu lalu menciumnya, "Kenapa nggak dianter mamamu?"
"Lagi mandiin Arin," balas Dio sembari berjalan keluar.
"Mamamu marah sama aku ya?"
Pertanyannya membuat langkah kaki Dio yang sudah hampir sampai di pintu depan terhenti, "Bukannya mbak ya yang marah?"
Zian berjalan mendekati Dio, "Enggak."
"Nggak usah bohong," lontar Dio.
Zian menghela nafas lalu berjalan keluar ke teras, "Intinya aku nggak marah."
"Zian!!"
Panggilan itu menghentikan percakapan keduanya. Zian terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Ia terlalu kaget untuk sekedar membalas panggilannya, atau mungkin hatinya belum sepenuhnya bisa menerima. Sedangkan Dio yang kini sudah berada di samping Zian tidak tahu siapa yang memanggil nama Zian sampai sepupunya itu enggan untuk menjawab. Laki-laki itu merasa ia pernah bertemu dengan dia namun kapan? dan dimana? Dio sungguh lupa.
Bahkan ketiga manusia itu masih belum menjawab atau merespon satu sama lain, dan kini Dipta baru saja datang bersama dengan Dika sembari membawa dua kantung kresek yang berisi kue buatan Bunda.
"Haii broo!!" sapa Dika dan mendapat balasan yang sama dari Dio.
Dipta sedikit bingung dengan situasi ini. Zian yang tak bisa berhenti menatap laki-laki berusia lanjut yang tengah berdiri di pinggir jalan yang hanya terbatas oleh tanaman serut sebagai pagar. Dipta menatap laki-laki itu yang juga menatapnya balik, namun anehnya ia tersenyum ramah pada Dipta.
"Siapa?" tanya Dipta setelah berjalan mendekat.
Didetik kemudian Zian meneteskan air matanya dengan pandangan yang sama sekali tak beranjak, "Bapak," jawabnya lirih.
Ketiga laki-laki yang ada di teras rumah Zian sontak langsung melihat ke arah yang dimaksud Zian, terutama Dipta yang benar-benar dibuat terdiam.
"Gue pulang panggil mama dulu," bisik Dio ditelinga Dika lalu berlari menuju dalam rumah berniat pergi ke rumahnya lewat pintu belakang.
"Boleh bapak mampir?" tanya Dipta pada Zian lemah. Dipta jelas tahu maksud akan kedatangan bapak Zian, dan yang jelas bukan untuk berdiri diam di pinggir jalan.
Zian beralih menatap Dipta dengan mata yang sudah berair, "Kalau aku nggak bisa gimana?"
"Ada aku sayang ... boleh ya?" Dipta kembali bertanya dan kali ini Zian mengangguk. Tanpa berpikir panjang Dipta berjalan mendekati bapak yang masih berdiri di bawah matahari sore itu.
Dipta sedikit tersenyum canggung, "Masuk aja pak, Zian udah nungguin." Pertemuan pertama yang sungguh diluar dugaan Dipta.
"Bapak tahu kamu, bapak senang kamu ada di samping putri bapak," balas Bapak sembari menepuk pundak Dipta lalu berjalan mendahuluinya.
"Sayang ..." lirihnya setelah sampai di hadapan Zian. Tepat setelah kakinya melangkah mendekat berharap ada sebuah pelukan yang ia dapatkan, Zian justru melangkahkan kakinya mundur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Teen FictionIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...