15 Januari 2013
Dunia Zian sudah kembali menjadi lebih baik setelah beberapa hari ini tidak ada yang berjalan sesuai keinginannya. Namun, seberapa dia kembali pulih dan tumbuh bekas luka itu masih ada dan selamanya akan selalu mengendap di dalam hatinya.
Zian yang masih belum terlalu peka akan kerasnya dunia itu berhasil merelakan sang mama. Bahkan seperti sore ini, gadis itu bermain seperti hari-hari sebelumnya dengan Fira tetangga depan rumah dan Dio anak tante Kinasih. Tidak ada raut sedih atau duka lagi diwajah cantiknya, yang ada hanya tawa ceria dengan gigi ompong satu.
Ketiga bocah itu bermain dibawah pohon mangga milik Kinasih. Dio mengaduk adonan tanah yang dia dapatkan dari pinggiran paving depan rumah dengan air. Zian sedang disibukkan dengan memotong kecil-kecil daun bunga nanas kerang ungu, sedangkan Fira motong kasar bunga lidah mertua.
"Dio jangan terlalu encer nanti gabisa dikeringin," titah Fira yang masih sibuk dengan aktivitasnya.
"Aku ambil genteng pecah dulu ya buat tatakan," ujar Zian kemudian bangkit dari duduknya.
"Jangan banyak-banyak mbak nanti Dio dimarahin mama!".
"Nggak papa Yo, nanti kita balikin." sahut Fira.
Rencananya mereka ingin membuat biskuit rasa tanah dengan taburan keju merah yang terbuat dari batu bata.
Zian terus melangkah ke samping rumah Kinasih, mencari beberapa genteng yang pecah karena jatuh. Namun langkah kakinya terhenti tepat di antara rumahnya dan Kinasih. Telinganya sayup-sayup mendengar suara Tante Kinasih dan Om Rian tengah berbicara dengan bapak, namun kali ini ada yang berbeda. Ada satu suara yang tidak ia ketahui pemiliknya. Dan yang dapat gadis itu dengar, Kinasih menangis.
Zian berlari menuju belakang rumahnya, membuka pelan-pelan pintu yang terhubung langsung dengan dapur. Dia tidak ingin ikut campur urusan orang dewasa, tapi Zian tergerak ketika Kinasih menyebut nama sang mama dengan nada yang tidak enak didengar.
Zian berdiri dibalik kulkas, mendengar pembicaraan mereka diruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Yang ia tidak tau adalah keberadaan seorang wanita yang tidak ia kenal. Jika dilihat, umurnya tidak jauh dari bapak dan mama.
"Kinasih nggak larang mas. Tapi setidaknya nunggu 40 harinya atau biar kuburan mbak kering dulu." Zian mendengar bagaimana kalimat itu diucapkan disela-sela tangisan tantenya itu.
"Iya mas ... setidaknya kita jaga pemikiran orang lain, Zian juga pasti masih berduka," tambah Om Ryan.
"Justru karena Zian mas mau nikah lagi, ada yang urusin dia, buatin dia sarapan setiap pagi, bantu dia kepang rambutnya," sangkal bapak.
"Gimana mas bisa jadiin Zian alasan tindakan mas yang nggak bener ini. Dia anak kandung mas sendiri loh!"
Zian terdiam. Bahkan ketika lengannya tidak sengaja menyentuh sisi pinggir kulkas yang hangat ia masih bergeming. Membiarkan rasa hangat itu perlahan-lahan menjadi panas.
"Jangan-jangan mas sudah punya hubungan sama dia bahkan sebelum mbak meninggal." Kinasih memekik, tangannya yang bergetar menunjuk wanita yang kini duduk diam disamping bapak.
"Jangan bicara sembarangan ya kamu!!!" bantah bapak dengan nada suara yang selama ini belum pernah Zian dengar.
"Udah mas omongin aja sekalian, udah terlanjur juga kan," bisik wanita itu pada bapak. Tapi nada suaranya tidak bisa diartikan kalau itu berbisik jika dari tempat Zian berdiri saja masih mampu gadis itu dengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Dla nastolatkówIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...