25. To Make Peace

31 7 4
                                        

Malam ini Zian sudah bertekad untuk menemukan semua jawaban atas pertanyaan yang sejujurnya juga menganggu angannya. Apa yang dikatakan Dipta benar, bahwa hidup juga tentang menerima. Dan Zian pikir ini juga salah satu caranya untuk menerima takdirnya, berdamai dengan masa lalu dan berakhir memaafkan bapak, meski sulit dan butuh waktu yang sangat lama.

"Kenapa Zi?" tanya Tante Kinasih yang tengah menyuapi Arin anak keduanya yang masih balita itu.

"Om Ryan belum pulang?" tanya Zian sembari duduk di sebelah Arin yang tengah sibuk memainkan mainannya.

"Lagi di belakang, kenapa?"

"Nggak papa, mau tanya aja."

"Hallo Arin, main sama onty mau?" lanjutnya sembari memainkan mainan Arin bermaksud untuk mengajaknya bermain.

"Dio di mana kok nggak keliatan?"

"Apa?" teriak Dio dari dalam kamar menyahuti pertanyaan Zian.

"Ngapain di kamar?"

"Yang jelas nggak lagi jualan martabak," sahutnya masih dengan suara yang sedikit lantang.

"Ngapain Zi?" tanya Om Ryan yang baru saja datang dari belakang dengan sarung dan kaos putih melekat ditubuhnya.

"Yang jelas nggak lagi jualan martabak," candanya.

Dio menyembulkan kepalanya keluar kamar, "Nggak kreatif amat plagiat omongan orang."

"Makanya kalo ngomong tuh dikasih hak cipta biar orang tau mana yang boleh dicopy paste," sangkalnya.

"Udah-udah Dio masuk sana," lerai Om Ryan sembari duduk di sofa tunggal seberang tempat Zian duduk.

Rasa bingung juga ragu menghantui kepalanya. Ia tak tahu harus memulai dari mana, basa-basi? sebuah pertanyaan? atau langsung to the point?. Gadis itu tengah bertarung hebat dengan batinnya, menguatkan niat dan memberi isyarat otak untuk memulai pembicaraan ini. Meski sedikit tersisa rasa takut di dalam hatinya, gadis itu tetap dalam keingin tahuannya.

"Om?" panggil Zian.

"Iya?" sahutnya dengan nada datar sembari terus menatap layar ponselnya.

"Zian mau tanya sesuatu." Ucapan Zian membuat segala aktivitas yang dilakukan Ryan dan Kinasih berhenti untuk sejenak.

"Tentang bapak," lanjutnya.

Pasangan suami istri itu bergeming. Hanya dentingan jam dinding dan suara ocehan Arin yang menggema seisi rumah minimalis itu. Zian menarik nafasnya dalam-dalam, berharap semoga tidak ada satupun diantara mereka yang marah atas pertanyaannya barusan. Kedua tangannya memainkan ujung baju yang ia kenakan, bola matanya terus menatap Om Ryan dan Tante Kinasih secara bergantian.

Antara Ryan maupun Kinasih sudah sama-sama menebak bahwa semua ini akan terjadi cepat atau lambat. Terlebih lagi Dipta yang telah menanyakan ini terlebih dahulu. Namun keduanya masih tidak tahu harus menjawab pertanyaan keponakannya ini seperti apa. Mereka ingin berkata jujur tapi mereka juga sama takutnya jika Zian akan kecewa dengan mereka. Tapi jika kebohongan yang lagi-lagi mereka lontarkan, pertanyaannya mau sampai kapan? bahkan sebuah bangkai yang dikubur dalam-dalam suatu saat baunya akan tercium juga, semua itu hanya perihal waktu.

"Kenapa tiba-tiba?" sahut Om Ryan.

Zian menghela nafas, "Aku pikir udah saatnya. Banyak pertanyaan yang hinggap dikepala aku Om, aku nggak mau terus-menerus kepikiran. Mungkin aku belum siap jika harus tinggal lagi bareng bapak, tapi setidaknya aku ingin tenang tanpa memikirkan hal yang sepertinya juga nggak perlu aku pikirkan."

Zian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang