16. Hujan dan Lukanya

46 12 5
                                    

Aroma tanah basah yang tertimpa hujan berpadu menjadi satu dengan udara dingin yang datang bersama dengan hujan malam ini. Orang lain mungkin akan membenci Desember dan hujannya. Nyatanya, meski terkadang hujan lebih berbahaya dari terik matahari, tapi tanpa hujanpun dunia akan sangat berantakan.

Pesanan kue sudah diantar Dipta dan adiknya beberapa saat yang lalu tepat sebelum hujan deras mengguyur kompleks townhouse. Sebagai seorang guru yang beberapa tahun lagi pensiun, bunda dari dua anak laki-laki itu hanya ingin memiliki keahlian yang akan ia kembangkan menjadi sebuah usaha. Ia sempat menyesal, kenapa tidak membuka usaha dari dulu, karena sekarangpun masih belum terlalu terlambat, hasil yang diperoleh juga lumayan.

Sepiring kue-kue sisa pesanan mereka nikmati bersama dengan satu teko teh hangat buatan Zian. Suasana malam yang sepi, hanya ada Dipta dan Dika yang terus-menerus bercek-cok. Salah satu alasan dia menjadi sangat bersyukur atas hidupnya yang sekarang, bahwa selain keluarganya ada keluarga lain yang sangat menyayanginya dan mencintainya layaknya seperti keluarga kandung sendiri. Kinasih pun sebagai wali gadis itu merasa sangat lega jika ia tahu bahwa gadisnya tengah berada didalam keluarga Dipta, meski harus pulang larut malam atau menginap, Kinasih yakin keluarga Dipta juga akan menjaga gadis itu.

"Kamu daripada mikirin abang, mending mikir mau daftar kuliah dimana," ucap Dipta setelah capek beradu mulut dengan adik satu-satunya.

Dika berdehem, "Bun ... Dika mau kerja aja."

"Kenapa? Nggak usah mikirin biaya, tahun depan abang cari kerja buat bantu-bantu," ketus Dipta sembari memakan kacang yang sudah dia kupas.

"Bukan gitu bang ...."

"Terus?" tanya Bunda.

Dika tersenyum, "Capek mikir."

:)

Dipta yang tengah mengenakan kaos polos hitam itu melempar kulit kacang yang naasnya tepat mengenai jidat sang adik, "Kalo cari alasan itu yang logis. Perkara capek mikir aja sampek nggak mau kuliah, mau jadi apa nanti."

"Emang sukses harus bergelar ya?" balas Dika sembari mengelus jidatnya yang sedikit panas lalu menyeruput teh yang ia tuang dicangkir kecil.

"Lu kalo dibilangin bantah mulu. Heran!!" omel Dipta.

"Tuh bun .. bunda denger kan! mulut abang... katanya kuliah tapi mulutnya nggak dikuliahin juga," ucap Dika dengan suara sedikit meninggi.

Dipta melotot, "Aku kuliah aja mulutnya gini, apalagi lu nggak mau kuliah bontot."

Bunda hanya mendengarkan keduanya yang tengah kembali berdebat. Lebih tepatnya berantem. Wanita paruh baya yang tengah mengenakan daster itupun juga terheran, sifat keras kepala keduanya menurun dari siapa. Ayah Dipta selalu menjadi penurut dan penyabar, sedangkan ia sendiri merasa bahwa beliau tidak keras kepala.

"Dipta dengerin dulu alasannya Dika dong," lerai Zian.

Dipta mengerutkan keningnya, "Kok kamu ngebela dia sih."

"Kamu sendiri yang ngajarin aku buat lihat sesuatu dari segala sudut pandang. Kenapa sekarang kamu nggak coba lihat dari sudut pandang Dika," tutur Zian kemudian mendapat sebuah senyuman dari Dika yang merasa mendapat pembelaan.

"Mbak Zian emang besteeiiiii sama aku," celetuk Dika tersenyum manis ke arah Zian yang sialnya membuat Dipta malah menggerutu.

Bunda tersenyum. Setelah inipun, jika memang Tuhan ingin mengambilnya, ia sangat ikhlas. Karena sekarang, ada seorang yang mampu menghadapi kedua putranya dengan tenang, ada seseorang yang mampu menjadi tempat aduan kedua putra kesayangannya, dan orang itu adalah Zian. Sejak sang suami meninggal, wanita itu selalu dibuat kewalahan menghadapi kedua putranya. Untungnya, ada Zian yang selalu siap menjadi penenang untuk Dipta.

Zian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang