Diatas dipan yang berada dirooftop rumah Dipta kini Zian berada, menikmati sore yang temaram bersama sepiring donat kentang hasil eksekusi tangan bunda, Zian hanya membantu sedikit sedangkan Dipta hanya berperan sebagai supporter. Sepanjang hari mereka habiskan untuk bercengkerama satu sama lain. Menikmati setiap hal aneh yang dibicarakan Dipta, tertawa bersama sembari menunggu adonan donatnya mengembang, atau melihat Dipta yang terus bertengkar bersama dengan Dika.
"Nggak masuk?" Dipta tiba-tiba datang lalu duduk disambing gadis itu. Menyomot satu donat dengan toping gula halus.
"Kok kamu nggak pernah bilang senja disini sebagus ini?"
"Lahh kamunya juga nggak nanya," jawab Dipta sembari mengunyah donatnya, "Lagian ... kamu kalo kesini selalu siang, jadi disini pasti panasnya pake banget."
Zian menepuk dipan yang kini ia duduki, manik matanya masih menatap matahari yang sudah berubah warna, "Duduk diatas dipan sambil lihat matahari tenggelam."
"Bersama orang tersayang," lanjut Dipta.
Zian hanya tersenyum, menikmati udara sore yang benar-benar jauh lebih sejuk.
"Nggak usah diliatin terus," cetus Zian tersadar bahwa laki-laki yang kini duduk disampingnya hanya menatap Zian.
"Emang kenapa?"
"Ntar bosen ... akunya nggak cantik soalnya."
"Kata siapa?"
Zian menatap seekor burung yang barusan lewat, "Tuhh."
Dipta mengikuti arah mata Zian. Setelahnya, laki-laki itu menggeser piring yang berisi donat, lalu menyenderkan kepalanya dipundak Zian. Ikut menatap senja yang beberapa menit lagi akan hilang diantara atap-atap rumah penduduk Jakarta yang sangat padat.
"Ta ...."
"Hmm?"
"Kamu kenapa suka banget senja?"
Dipta mengambil tangan Zian untuk ia genggam, "Karena dia tidak datang selamanya."
"Hah?"
"Aku baru menyadari, bahwa selama ini aku hanya menyukai sesuatu yang tidak akan pernah bisa bertahan selamanya."
"Aku menyukai senja, tapi faktanya malam menariknya pergi. Aku menyukai hujan, tapi faktanya kemarau datang memaksanya pergi. Aku juga sangat menyukai ayah, tapi faktanya Tuhan membawanya pergi juga," lanjut laki-laki bersurai hitam itu.
"Tapi justru karena itu aku suka. Karena senja nggak datang selamanya jadi aku belajar tentang waktu. Meski semuanya nggak mungkin bisa bertahan selamanya, aku ingin dengan sisa waktu ini aku bisa menciptakan kenangan yang sampai kapanpun nggak akan pernah aku atau orang lain lupakan," lanjutnya.
Gadis itu membalas erat genggaman tangan Dipta. Memberikan laki-laki itu posisi ternyaman untuk bercerita. Karena Zian tahu persis, bahwa jika kekasihnya sudah seperti ini, ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Dan Zian hanya akan berusaha menjadi tempat terbaik untuk Dipta pulang kapanpun Dipta mau. Karena bagi gadis itu, Dipta adalah penghuni rumahnya dan jika Zian memang rumah bagi Dipta, sejauh apapun laki-laki itu pergi, ia akan tetap kembali.
"Hari ini anniversary pernikahan bunda dan ayah."
Zian ingat dan sama seperti tahun sebelumnya, gadis itu tidak ingin mengucapkan apapun. Karena tidak ada yang perlu diingat-ingat tentang sebuah duka.
"Tadi malam jam 12 lebih aku lihat bunda nangis lagi dimeja makan. Sakit banget Zi, liat bunda nangis didepan kue kecil dengan sebuah lilin yang sudah bunda tiup sendiri."
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Fiksi RemajaIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...