Semalaman penuh Zian tidak bisa tertidur karena memikirkan apa yang Dipta ucapkan kemarin di warung bakso pinggir jalan. Segala bayangan tentang bapak juga tentang semua kemungkinan-kemungkinan yang terjadi berputar-putar dikepala gadis bersurai hitam itu.
Andai Dipta tahu bagaimana dulu ketika Zian duduk di bangku SMP, seharian penuh ia tidak pulang hanya untuk mencari keberadaan sang bapak. Berbekal satu bungkus roti yang ia beli di warung dan air mineral yang ia bawa dari rumah, menyusuri kota Jakarta Timur dengan kedua kakinya. Sebuah foto yang ia dapatkan dari Om Ryan, menampilkan wajah bapak yang tertawa bersama dengan temannya ditempat kerja. Ya, dengan foto itu ia berusaha menemukan keberadaan sang bapak.
Gadis itu tidak tahu alasan pasti kenapa dia mencari bapak kala itu. Mungkin, juga karena Zian yang sejujurnya membutuhkan sosok pelindung juga tempat agar ia mendapatkan kasih sayang yang sepenuhnya. Namun, usaha gadis itu tidak membuahkan hasil. Mengorbankan hari minggunya untuk mencari pahlawannya, di bawah sinar matahari Jakarta yang terik gadis itu menangisi takdirnya sendiri.
"Kenapa bapak tidak mencariku? apa bapak sama sekali tidak merindukanku?" pikirnya kala itu.
Kini, Zian tidak lagi ingin membuang waktunya untuk hal yang kemungkinan berhasil juga sangat tipis. Sama seperti apa yang diucapkan Dipta, jalani hidup yang lebih baik setiap harinya itu sudah cukup. Tidak perlu melakukan sesuatu yang mungkin hanya akan berdampak buruk untuk diri sendiri.
Pagi ini jadwalnya full di kampus, ia sedikit berdecak ketika tiga dosen mengatakan ada jadwal mereka hari ini di grub chat. Zian juga manusia yang juga memiliki rasa jenuh akan sesuatu, tapi gadis itu adalah salah satu manusia yang pandai menutupi semua isi hatinya.
"Zi!!!" teriak Fira dari depan rumah Zian.
"Masuk!!" balas Zian juga dengan berteriak.
"Gue nebeng ya," ucapnya sesaat setelah mendaratkan bokongnya di atas sofa.
"Tumben pake ngomong, biasanya juga langsung nylonong duduk dijok motor," jawabnya.
Fira berdecak, "Jadi orang bener salah, orang salah apalagi gimana si."
"Ya kan tumben aja." Zian meletakkan piring bekas ia sarapan. Hari ini ia hanya membuat nasi goreng biasa, tanpa telur, tanpa kecap dan tanpa kerupuk sebagai topingnya.
"Takut lo nanti mampir ke rumah Dipta makanya gue ngomong."
"Bunda lagi keluar kota jadi nggak kesana."
Fira membelalakkan matanya sumringah, "Kesempatan dong."
"Hah?"
"Nggak usah sok polos deh, kalau ada kesempatan yang bagus gunain anjirrr goblok banget dah jadi orang," ujar Fira menggebu-gebu.
Zian bernafas jengah, "Kalo lo mikir kesempatan yang arahnya gituan, tiap hari kalo gue mau juga bisa nyet."
Fira menatap Zian yang kini sudah duduk disisi lain sofa, "Hah?"
"Ya lo liat aja secara rumah gue selalu sepi, kalo cuma ngomongin kesempatan juga tiap hari bisa," jelasnya, "Sekarang mending lo mandi, siap-siap soalnya gue nggak mau sampai telat."
"Ehh ... tapi pulangnya gue mampir ke makam mama dulu," lanjutnya.
Fira tersenyum, sedikit mencurigakan.
"Gue mau jalan sama Very," balasnya.
Gadis itu berdecak kesal. Menutup pintu kamar mandi dan membiarkan Fira untuk pulang. Dari gelagatnya saja Zian sudah bisa menebak ada sesuatu dibalik itu semua.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Teen FictionIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...