Sore menjelang petang dengan pakaian yang masih rapi Zian berjalan kaki setelah memarkirkan motor beat hitamnya di sebuah toko dekat dengan taman pemakaman umum. Hari ini sepulang dari tempat kerja dia melihat penjual bunga pinggir jalan. Lalu rindu itu tiba-tiba datang mengusik angan dan pikirannya. Rencana istirahat lebih cepat ia urungkan, lalu pergi menuju rumah Mama.
Matahari masih bersinar, cukup terik tapi iklim di Indonesia benar-benar tidak bisa diprediksi kepala. Kadang pagi matahari sangat cerah, lalu mendung datang tanpa hujan. Pagi-pagi gadis itu harus memasukkan kembali jemurannya karena tiba-tiba hujan deras turun. Tadi pagi contohnya, pukul 9 sudah mendung tapi sampai sore matahari masih bersinar cukup terang.
"Dateng lagi neng?" sapa salah seorang penduduk daerah situ.
Setiap satu bulan sekali Zian memang selalu datang ke sana. Tidak peduli siang yang panas atau hujanpun gadis itu selalu menyempatkan diri untuk datang. Tak heran jika penduduk sana hampir keseluruhan mengenal baik gadis berambut panjang hitam itu.
Zian tersenyum ramah sembari mengangguk, "Iya Bu. Ibu mau kemana?"
"Mau nganterin oncom buat Mpok Leha." Mata cantik milik Zian langsung melirik pada kantong plastik berwarna hitam yang ditenteng ibu-ibu itu.
"Yaudah lanjutin ... ibu pergi dulu." Zian hanya membalasnya dengan anggukan kecil.
Berbicara tentang oncom, terlintas sejenak dibayangannya bagaimana Zian kecil yang selalu merengek karena minta dibuatkan oncom sang mama, meski ditemani dengan rengekan dan sedikit tangisan, namun Zian kecil selalu berakhir mendapatkannya. Tak lupa atas bujuk rayu juga paksa sang bapak. Pahlawan Zian waktu itu.
"Sore Mbak Zian," teriak dua anak kecil perempuan seberang jalan.
Mereka Susan dan Vita. Anak kelas 6 SD. Mereka saling mengenal ketika Zian yang waktu itu masih baru lulus SMA datang untuk yang pertama kalinya di TPA tempat mereka biasa mengaji.
Gadis beriris coklat itu melambaikan tangan lantas tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya, "Haiii ... mau kemana sore-sore gini naik sepeda?"
"Habis ngembaliin bukunya Rio mbak, mbak mau ke makam ya?"
Zian mengangguk dengan senyum yang masih menghiasi wajahnya, "Iyaa".
"Mbak kapan lagi mampir ke TPA?"
Kedatangan Zian waktu itu tak lebih karena tidak disengaja. Namun, setiap kali gadis itu merasa kesepian TPA itu akan menjadi salah satu tempat tujuannya pergi.
"Nanti pasti ke sana, mbak lagi sibuk akhir-akhir ini. Harus kerja," jawabnya.
Percakapan sore itu berakhir hanya sampai di sana. Zian harus segera pergi karena waktu terus berjalan maju.
Kaki panjang milik gadis itu berhenti tepat di depan pusara di bawah pohon kamboja yang tak berbunga.
"Assalamualaikum ma," ucapnya sembari meletakkan satu buket bunga aster warna warni.
"Mama kenapa suka bunga ini sih?" tanyanya entah pada siapa.
Zian selalu menanyakan pertanyaan yang sama setiap sampai di sana. Kenapa bunga aster? padahal masih harum bunga mawar dari aster, juga masih cantik bunga anggrek daripada aster. Meski gadis itu tau persis, segala atas pertanyaannya tak akan membuahkan jawab tapi ia masih dan selalu menanyakannya.
Sama seperti ia yang tak mengetahui alasannya, Zian masih tetap saja membawakan bunga aster kesukaan sang mama. Setidaknya itu sudah cukup menjadi alasannya.
Gadis itu membersihkan beberapa bunga kering yang ditinggalkan pelayat. Dia tidak terlalu yakin mengenai siapa lagi yang datang kesana selain dirinya. Tapi satu yang ia ketahui bahwa masih ada yang menyayangi mamanya selain dia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zian [END]
Teen FictionIni tentang Zian Malika Adinata, gadis berusia 19 tahun yang berhasil tetap hidup setelah 8 tahun terakhir dunianya runtuh berantakan. Salah satu alasannya adalah karena kehadiran sosok Dipta yang berhasil membuatnya kembali menemukan setitik cahaya...