3. Sesak disudut ruang kamar

112 33 8
                                    

Angin malam ini berhembus lebih kencang dari hari-hari biasanya. Jam sudah menunjukan pukul sebelas malam. Tapi Zian masih sibuk berkutat di depan layar laptop yang menyala dengan puluhan lembar kertas dan buku yang berserakan dimana-mana.

Sore sepulang ia dari pemakaman, gadis itu menyadari bahwa ada beberapa tugas kuliah yang belum ia kerjakan. Tanggungjawab hidup yang ia tanggung sendiri menjadikan gadis itu serba bisa. Melakukan segalanya sendirian. Bahkan tak jarang Zian melakukan dua pekerjaan dalam satu waktu sekaligus. Seraya menunggu tahu goreng yang baru ia masukkan ke dalam minyak panas, Zian mencuci tumpukan piring kotor di wastafel sisa makan malamya kemarin.

Tidak ada suara TV menyala atau obrolan petang seperti keluarga lainnya. Zian sendirian, bersama suara dentingan jam dinding berbentuk hati yang bersautan dengan suara jangkrik di luar rumahnya. Gadis itu lelah harus kerja di sebuah kafe setelah paginya ia ada jadwal presentasi di kampus. Sore hari sepulang kerja gadis itu harus pergi ke penerbit untuk taken kontrak kerja. Meski jarak antara rumah-kampus dan penerbit terbilang lumayan jauh. Dia masih tetap ingin mengambil kesempatan yang ia inginkan sejak ia duduk dibangku SMA. Menjadi asisten editor buku.

Mungkin benar kata orang, bahwa relasi itu sangat dibutuhkan. Nyatanya, bahkan tanpa ijazah S1 Sastra Indonesia saja ia sudah bisa bekerja menjadi asisten editor buku, itu yang artinya kesempatannya menjadi seorang editor buku juga sangat banyak. Semua itu berkat Pak Syaiful - dosen mata kuliah linguistiknya. Karena secara kebetulan, manajer tempat penerbit itu adalah adik kandung beliau.

Zian menghembuskan nafas berat. Matanya sudah sangat sayu, sama seperti bunga anggrek milik Kinasih yang belum disiram satu minggu. Gadis itu menilik ponsel android keluaran tahun 2018 miliknya. Tak ada yang spesial dari room chatnya. Hanya beberapa grub kuliah, juga satu chat yang memang sedari tadi ia tunggu-tunggu.

Dipta ♡♡ : "Besok sore kalau ada waktu ikut ke makam ayah mau?"

Hatinya menghangat ketika ia menemukan satu-satunya orang yang masih memeluknya hingga sekarang menghubunginya.

Zian : "Iyaa. Jam 3 sepulang kerja. Aku gak ada kuliah kok."

Gadis itu menyalakan lagu dari playlist favoritnya di Spotify. Akhir-akhir ini Zian sering mendengarkan lagu yang baru-baru ini dirilis oleh Mahalini - Sisa Rasa. Seperti ada mantra yang menghipnotis angan Zian, lagu ini benar-benar menjadi temannya beristirahat kala lelah, merebahkan segala penat lalu melangitkan segala rindu.

Diatas kasur dengan seprei bunga-bunga warna merah jambu ini Zian terlentang. Menatap plafond kamar yang meninggalkan pulau-pulau kecil akibat tetesan air hujan.

Masih jelas teringat
Pelukanmu yang hangat
Seakan semua tak mungkin menghilang
Kini hanya kenangan
Yang telah kau tinggalkan
Tak tersisa lagi waktu bersama

Tepat ketika Zian menutup mata. Satu tetes butiran air mata mengalir. Ditempat yang sama meski dengan kondisi yang berbeda. Gadis itu masih sama, memeluk rindu dengan air mata. Sama seperti 8 tahun yang lalu. Satu minggu setelah mama benar-benar pergi meninggalkan gadis itu.

Zian kecil duduk diatas kasur tidurnya memeluk satu boneka beruang seukuran tubuhnya. Menatap seisi ruang kamar dengan tatapan hampa. Sudah satu minggu, tapi gadis itu enggan menangis, menolak kenyataan dan masih terus berharap bahwa apa yang terjadi semua hanyalah sebuah mimpi buruk, dan akan baik-baik saja ketika ia bangun pagi nanti. Namun dihari itu, pagi hari ketika ia membuka mata. Kondisinya masih sama seperti satu minggu sebelumnya, ia tidak menemukan keberadaan sang mama.

Gadis itu membungkam mulutnya sendiri dengan kedua tangannya, berkata pada dirinya sendiri untuk tidak terisak.

"Zian gak boleh nangis, nanti mama marah."

Zian [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang