🌱 3. Mencari bantuan 🌱

9.5K 743 5
                                    

Pukul satu pagi, Haven terbangun. Kepalanya menggeleng, lalu matanya berkedip cepat. Ruangan ini gelap. Kondisi gelap adalah hal yang bisa membuatnya tenang dan tertidur. Namun, sekarang ruangan gelap ini terasa mengerikan. Haven menatap ke segala arah demi memastikan tidak ada sesuatu yang muncul tiba-tiba.

Haven meraba-raba tempatnya. Ditemukannya tangan Aqilla. Haven terhenyak. Pastinya Aqilla memiliki ponsel. Tubuh kecil itu mendekati lemari kecil. Mata Haven berbinar menemukan sebuah benda persegi hitam. Tangan kirinya terulur. Sayangnya, ia lupa mengukur jarak ponsel dengan tempatnya berada. Haven pun jatuh terguling dari tempat tidur.

Aqilla terbangun karena mendengar tangisan keras. Dicarinya Haven yang ternyata sudah duduk di lantai. Aqilla menghidupkan lampu kemudian menggendong bayi itu.

"Aduh, kasihan. Cup, nggak papa kok," hibur Aqilla sambil mengayunkan Haven pelan.

Setelah lima belas menit, tangis mereda. Wajah bulat itu memerah meninggalkan jejak air mata serta ingus. Sungguh, Haven tidak berniat menangis. Namun, tubuh bayi ini seperti mengendalikannya.

"Bayi Kecil. Eh? Nggak enak manggil Bayi Kecil terus. Kasih nama ah. Nama yang bagus ... Irfan!"

Haven menggeleng cepat. Itu bukan namanya. "Nama gue Haven! Bukan Irfan! Jangan seenaknya ganti nama gue! Lama-lama nih cewek nyebelin."

Hasil omelan Haven adalah ocehan bayi yang tidak jelas mengucap apa. Aqilla tertawa kecil, sedangkan Haven semakin kesal.

"Tidur lagi yuk. Besok Kakak sama Bunda mau cari orang tua kamu, hm?" ajak Aqilla. Gadis itu meletakkan tubuh Haven kembali ke kasur dan menyelimutinya.

"Tata, tata, tata!"

🌱🌱🌱

Saat matahari tepat berada di atas kepala, Aqilla dan Bunda berkeliling sekitar gang yang menjadi titik temu Haven. Keduanya sudah bertanya kepada beberapa orang, tapi nihil. Tidak adanya kamera pengawas di gang ini menambah kesulitan.

Di sisi lain, Haven menatap tajam kucing gemuk yang sedang rebahan. Belum kemarin diseret tidak manusiawi, kucing itu bahkan menggunakan seragam sekolahnya sebagai alas untuk tidur. Padahal di sana ada dompet dan ponsel.

"Tata! Tata!" seru Haven begitu ingat barang-barangnya. Keributannya memancing Aqilla untuk datang ke arah yang ditunjuk Haven.

"Itu kucing. Kucingnya gemuk ya," jelas Aqilla.

Haven berontak supaya lepas dari gendongan Aqilla. Saat sudah diturunkan, Haven merangkak mendekati kucing. Wajah bulat penuh lemak menatapnya sengit, tapi Haven tidak gentar.

"Kucingnya lagi tidur, nggak boleh diganggu. Bunda, kayaknya mau hujan. Gimana nih?" Setelah menggendong Haven, Aqilla menatap resah langit yang menjadi sangat gelap.

Bunda mengangguk. "Kita pulang dulu. Nanti kalo udah terang, kita ke sini lagi."

Haven sangat menentang keputusan itu. Tangannya memukul-mukul wajah Aqilla.

🌱🌱🌱

Menjadi pusat perhatian, Haven sangat suka. Namun, dalam posisi begini, rasa aneh menghinggapi hatinya. Setelah ditatap begitu lama oleh Ayah Aqilla, Haven dapat bernapas lega.

"Jadi Qilla nemu bayi ini di gang itu. Pas ditemu, ada orang di sekitar sana nggak?"

"Enggak ada, Yah. Cuma ada kucing yang nyeret Irfan."

"Irfan?"

"Hehe, Qilla kasih nama. Nggak enak manggilnya Bayi Kecil terus," sahut Aqilla sambil meletakkan piring di meja.

Ayah mengangguk. Seporsi mi goreng di hadapannya amat menggiurkan sehingga keberadaan Haven dilupakan.

Pipi Haven menggembung. Dulu dirinya selalu duduk di kursi istimewa. Kali ini ia duduk di atas karpet dengan beberapa mainan di sekitarnya. Dirinya bukan bayi, tidak sepantasnya diperlakukan seperti ini. "Sebel! Semua orang nyebelin!" "Tata, tata, tata tata!" jeritnya frustrasi.

Selang beberapa lama, Haven menyadari ada harum enak di ruangan ini. Hidung mungilnya mengendus mencari sumber aroma yang menggugah selera. Melihat sepiring mi goreng di tangan Ayah, Haven langsung menghampiri.

"Mau juga dong." "Tata!" ucap Haven dengan tangan menggapai.

"Kenapa, Irfan?" tanya Ayah. Diletakkannya piring ke meja. "Mau ini?" tambahnya dan mengambil boneka beruang kecil.

Haven menerima boneka untuk dibuang sembarangan. Air liurnya menetes saat harum mi semakin kuat. "Minta dong." "Tata!"

Ayah paham dengan maksud Haven, tapi kepalanya menggeleng. "Minya pedes. Irfan makan kue aja ya?" bohongnya.

Haven mengerutkan kening. Menyebalkan, pikirnya.

🌱🌱🌱

Haven menendang bantal, tangannya memukul-mukul boneka yang senantiasa tersenyum. Hidupnya lebih buruk berkat butiran yang dilemparkan Mika. Suasananya hatinya berubah menjadi lebih buruk saat mengingat tatapan remeh dari kucing orange over berat badan. Sebuah pertanyaan bersarang di pikirannya. Biasanya ketika marah, dirinya merusak barang kemudian kembali tenang. Sedangkan, sekarang dadanya sesak lalu air keluar dari sela-sela mata. Haven menyeka air matanya. Sia-sia sebab mulutnya sudah berteriak kencang.

"Huwaa!"

Mau sebanyak apapun berteriak, tangisnya kian lantang dan hatinya lebih sedih.

Aqilla masuk ke kamarnya untuk menemukan Haven menangis. Digendongnya bayi itu. "Irfan, Kak Qilla di sini. Irfan mau apa? Mau main mobil?" hiburnya sambil memungut mainan sepupunya.

Haven mencibir, tapi tangannya menggapai mobil mainan. Seperti keajaiban, air mata berhenti mengalir dan perasaannya membaik. Haven menatap Aqilla kemudian mobil mainan di tangan. Apakah gadis itu memiliki sihir sehingga mampu membuat dirinya tenang? Kalau begitu Aqilla mungkin bisa mengangkat kutukannya.

"Bantuin gue. Gue dikutuk sama mantan. Lo bisa sihir, kan? Bantuin gue ya, please. Nanti gue bakal kabulin permintaan lo."

"Irfan suka sama mobilnya ya? Nih, ada lagi, ini warna merah, ini warna kuning."

"Bukan! Bantu gue cari Mika! Dia yang buat gue jadi bayi!" "Ika, Ika!"

Haven yang semula bangga dan merasa lega, seketika kecewa. Tangannya menampar bibir. Percuma jika meminta tolong lewat bicara. Dirinya harus menulis. Menatap sekeliling, Haven menemukan buku dan pena di meja belajar. Ditunjuknya kedua benda itu, berharap Aqilla mengerti.

"Irfan mau gambar? Oke." Aqilla memberikan secarik kertas dan pensil. Keningnya berkerut saat melihat coretan yang mirip huruf.

Haven memamerkan karyanya. Ia menunggu penuh harap. Walau tulisannya jelek, seharusnya Aqilla bisa membacanya.

"Wah, Irfan pinter. Gambar mobilnya bagus."

Itulah mengapa jangan terlalu berharap. Haven melempar kertas. Kakinya menendang-nendang bantal lalu melempar pensil ke wajah Aqilla. Padahal gadis itu adalah pemilik urutan pertama prestasi, tapi membaca tulisan ini saja tidak bisa.

"Cuma hp yang bisa bantu."

The Prince's CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang