🌱 18. Pulang 🌱

4.4K 438 64
                                    

Mata Haven bergulir mengikuti pergerakan Aqilla yang sedang mengemas barang. Sejak percaya kata-kata Irfan, Aqilla bergegas mengemasi mainan kesukaan Haven serta beberapa camilan. Haven merangkak mendekat, kemudian menyentuh lengan gadis itu. "Ila," panggilnya.

"Kenapa, hm?"

"Mau Ila."

Gerakan Aqilla terhenti. Ia duduk menghadap bayi bermata bulat. Sambil mengusap kepala Haven, Aqilla berkata, "Alex bisa kok ketemu Kak Qilla lagi. Alex kan cuma pulang ke rumah."

Nggak mau! Maunya Qilla! Pipi Haven menggembung. Bagaimana bisa semudah itu Aqilla bicara seolah melupakan kenangan mereka selama ini? Haven air di sudut matanya. "Mau Ila, Ila ...."

Aqilla mengulas senyum. Sejenak ia menatap tangan mungil yang memegangnya, seakan meminta tidak dipulangkan. Aqilla memutuskan menggenggam sepasang tangan itu. "Alex kan punya rumah, ada Kak Irfan juga. Kalo Alex nggak pulang ke rumah, Kak Irfan sedih lho," beritahunya.

Bodo amat sama Irfan. Aku maunya Qilla. Nggak mau yang lain.

Haven merasakan sesak di dadanya. Ia menarik napas panjang, lalu menghembuskannya. Namun, rasa sesak itu tidak kunjung hilang. Ia mengulangi sekali lagi dan air mata justru menetes. Haven tidak sanggup lagi menahan emosi.

"Hwaa! Mau Ila! Hwaa!"

Aqilla menghela napas. Gadis itu berdiri dan mendatangi Irfan. "Irfan, ini tas isinya barang kesuaka Alex. Nanti kalo Alex rewel, dikasih ini pasti diem," jelasnya sembari menyerahkan sebuah tas kecil.

Irfan mengangguk. Pandangan berpindah ke punggung kecil di sana. Haven, gue nggak tau lo masih sadar atau enggak. Gue akan berusaha supaya lo balik normal. "Aqilla, makasih udah jaga Alex."

"Sama-sama."

Irfan melangkah menghampiri Haven. Belum sempat ia mengulurkan tangan, Haven berteriak kepadanya.

"Ana! Mau Ila! Hwaa!"

"Udah nggak papa. Bawa Alex pulang aja. Aku nanti sampein ke Bunda kalo Alex udah ketemu sama keluarganya."

Irfan sedikit menoleh, kemudian kembali memperhatikan Haven. Setelah mempersiapkan diri, perlahan Irfan mengambil Haven. Jika Haven tidak memberontak, maka itu adalah kebohongan. Haven memukul Irfan, apapun itu asalkan tidak dibawa pergi. Sayangnya, ia kini hanyalah seorang bayi yang tidak sebanding dengan remaja laki-laki.

"Ila! Ila!" Haven berteriak dan merentangkan ke arah Aqilla. Tidak seperti yang sudah-sudah, Aqilla hanya melambaikan tangan mengantarnya sampai teras.

"Irfan pulang naik apa?" tanya Aqilla.

"Taksi. Gue udah panggil taksi."

Aqilla mengangguk.

Di belakang Aqilla, Mika dan lainnya menonton. Mika menatap kosong bayi yang menangis menyerukan nama Aqilla. Padahal dirinya berniat melepas kutukan Haven, tetapi dia justru dibawa oleh orang yang lebih berpengalaman. Mika mengedikkan bahu. Sekarang hal yang harus dipikirkan bukan Haven, melainkan dirinya. Mika memandang punggung Irfan yang menjauh.

🌱🌱🌱

"Haa ... mau Ila!"

Diam adalah pilihan Irfan atas bayi yang menangis di pangkuannya. Sudah lima kali dirinya mencoba menghibur dengan mainan, tetapi bayi itu tetap menangis mencari Aqilla. Sebenarnya, Irfan tidak yakin Haven sepenuhnya tidak sadar. Sorot matanya, cara bicara dan pemberontakannya persis dengan Haven yang biasanya. Irfan pun pernah menanyakan sesuatu dan respons Haven diam sebentar, lalu bertingkah seolah tidak tahu.

"Mas, itu bayinya nggak papa dibiarin? Saya kasihan dia nangis terus sampe suaranya serak."

Ucapan sopir taksi merebut atensi Irfan. Benar juga, batin Irfan. Namun, hal apa yang dapat menenangkan bayi?

"Mungkin laper, Mas. Coba dikasih makanan atau susu." Seperti mengerti kebingungan si penumpang, sopir taksi memberi saran.

Irfan langsung membuka tas pemberian Aqilla. Ada sebotol susu di dalamnya. Irfan meraih benda itu dan seketika menyadari susu masih hangat. Dengan yakin, ia memberikan botol ke Haven.

"Moh! Mau Ila!" Haven menolak dengan kasar. Tangannya menepis botol susu.

Irfan memiringkan kepala. Melihat ekspresi angkuh itu, jelas bayi ini Haven yang ia kenal. "Yakin nggak mau?" tanyanya.

Haven membuang muka.

"Kalo nggak mau, sampe besok nggak ada susu."

Haven melongo. Kejam, batinnya. Pelan-pelan tubuhnya bergeser mendekat ke Irfan. Secepat kilat, Haven merebut botol susu itu. Kalo bukan dari Qilla, nggak sudi gue. Haven minum sembari memikirkan rencana penyiksaan untuk orang di sebelahnya.

🌱🌱🌱

Pukul enam tepat, Irfan tiba di rumahnya. Laki-laki itu keluar dari mobil sambil membawa tas serta menggendong bayi di bahunya. Irfan melangkah memasuki rumah dan langsung disambut Bella.

"Udah pulang. Ih, siapa nih? Gemoy," tukas Bella begitu melihat punggung mungil di bahu Irfan.

"Ini temenku yang hilang, Haven."

Bella menoleh. Tatapan tidak percaya ia arahkan ke Irfan. "Yang bener," balas Bella.

"Benerlah. Emang Kakak nggak ngerasin auranya Haven?"

Kepala Bella mengangguk. "Tapi kenapa nih? Pingsan?"

Irfan menempati sofa untuk membaringkan Haven. Setelah ity, ia menjawab, "Enggak. Ketiduran, habis minum susu."

Langkah Bella mengikuti Irfan. Ia menempatkan diri di samping Irfan. Tangannya terulur menyentuh pipi bulat berisi milik Haven. "Lucu banget. Kamu nggak buru-buru bantu dia balik ke wujud semula, kan?" tanyanya.

"Kenapa?"

"Nggak pa-pa. Kamu udah mikir cara buat bantu temenmu?"

"Baca mantra buat lepasin kutukannya atau nggak cari orang yang kasih."

Alis Bella naik sebelah. "Helo. Opsi keduamu nggak solutif. Mana mau orang itu lepasin kutukannya. Minimal siksa dulu, baru mau."

Irfan menggeleng. Kepalanya menyender ke sofa. "Itu bisa dipikir nanti. Yang harus dipikir sekarang, gimana solusi kalo Haven bangun."

Haven : 😭 Ila! Mau Ila!

Irfan : 😤

Bella : Gemoy sekalee 😍😍

Aqilla : Udah nggak ada Irfan lagi, eh, Alex lagi. Sekarang Alex lagi ngapain, ya?

Mika : Gue perlu mantra lagi.

Author : 😊 Vote dan komen berpengaruh sama update part selanjutnya

Author : 😊 Vote dan komen berpengaruh sama update part selanjutnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
The Prince's CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang