"Ba! Irfan! Mau main sama Kak Farel? Kak Farel ada hape lho."
"Ngawur! Bayi nggak boleh dikasih main hape. Irfan, main sama Kak Lea yuk. Kak Lea punya permen."
"Lo yang ngawur! Bayi nggak boleh dikasih cokelat."
Haven memandang datar perkelahian di depannya. Ia menghela napas. Sejak Aqilla pergi ke dapur, suasana ruang tamu menjadi riuh bagaikan pasar kaget. Haven mengedarkan pandangan. Pada saat itu juga sorot tajam Irfan ia lihat. Haven buru-buru mengalihkan pandangan.
"Bayi nggak boleh main hape!"
"Bayi nggak boleh makan cokelat!"
Sementara itu, Farel dan Lea sibuk adu mulut tentang ponsel dan cokelat. Di sisi Farel, dirinya ingin agar Haven mengetik di ponselnya menggunakan jari-jari mungil itu. Sedangkan, Lea ingin memberi permen agar Haven terus bermain bersama dirinya.
Menghadapi percecokan yang entah kapan selesai, Chelsea menengahi. Gadis berkepang itu berseru, "Shut! Diem."
"Diem!"
"Diem!"
Bukannya menghiraukan ucapan Chelsea, Farel dan Lea kompak membantah.
Duh, Qilla mana sih? Kok nggak dateng juga? Temen-temennya lagi kesurupan reog lho. Haven berdecak sembari membanting boneka. Tiba-tiba, sepasang tangan mengangkat tubuhnya. Haven menoleh, tetapi tidak sampai.
Farel dan Lea menyadari Irfan telah menggendong bayi. Tanpa dapat mencegah, keduanya terdiam menyaksikan kepergian orang itu.
"Irfan kenapa?" bisik Farel.
"Tau," balas Lea.
Di pekarangan, Irfan mengangkat Haven di depannya. Laki-laki itu mengamati wujud Haven dari ujung kepala hingga ujung kaki. Secsra fisik tampak seperti bayi, tetapi auranya jelas adalah Haven.
"Gimana lo bisa kayak gini?" tanya Irfan.
Lah, dia nanya. Jawab, enggak? Jawab juga percuma. Dia nggak bakal ngerti. Selepas berpikir, Haven menjawab, "Ta ta?"
Dahi Irfan langsung berkerut. Kakinya berbalik menuju halaman samping rumah. Ia tidak ingin seseorang menonton dirinya bicara dengan bayi seolah bicara dengan orang dewasa. Setelah mendudukkan Haven di kursi, Irfan kembali berkata, "Kasih tau gue. Atau tunjuk kalo orangnya ada di sini."
Kesempatan! Eh, tapi kalo gue kasih tau, entar Irfan cari cara biar gue balik normal. Kalo gue balik normal, Qilla nggak ngenalin gue. Haaa ... nggak mau pisah sama Qilla. Haven meremat bajunya dengan pandangan gelisah. Dulu, ia sangat ingin bantuan datang. Namun, sekarang ia nyaman menjadi seperti ini, menjadi kesayangan Aqilla.
Haven melirik Irfan. Sorot mata itu amat tajam seolah bisa membaca isi hati. Haven balas menatap Irfan. Sekian lama menunggu, tidak ada respons berarti. Haven mendapat simpulan jika Irfan tidak membaca pikirannya. Karena tidak tahu lagi harus berbuat apa, Haven memutuskan melarikan diri dengan cara berteriak.
"Ila, hiks. Ila! Hwaa!"
Irfan gelagapan. Dengan tergesa-gesa laki-laki itu menggendong Haven kembali masuk ke rumah. Begitu tiba, Aqilla ada di sana. Gadis itu segera mengambil Haven. "Kenapa, Irfan, hm?" tanyanya.
Irfan merasa terpanggil, lalu mendongak. Melihat Aqilla fokus ke bayi di pelukannya, Irfan membuang pandangan, kemudian kembali ke tempat duduknya. Irfan duduk di pojok dan mengamati semua orang di sana.
"Qilla, gue mau gendong Irfan," minta Lea.
Terulang kembali, Irfan merasa dipanggil. Ia langsung batuk-batuk kecil ketika menyadari kalimat yang diucap Lea.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Curse
Teen FictionHati-hati dengan hati wanita. Karena jika menyakitinya, kamu bisa jadi bayi. * * * Diberkati dengan paras rupawan serta tubuh proporsional, Haven sangat memanfaatkan kelebihannya. Remaja jangkung itu memikat banyak perempuan kemudian mencampakkan me...