"Ternyata kamu tau juga. Sekilas aku ngerasa bayi itu mirip kamu."
"M-mirip? Mirip apanya?"
Aqilla tersenyum tipis. "Perilakunya."
Dengan langkah kaki malas-malasan, Haven berjalan pulang. Secara penampilan dirinya bukan bayi, tetapi mengapa Aqilla menyebutnya begitu? Apa gadis itu teringat mode bayinya dalam tubuh ini?
Apa Ila nyadar?
Haven berhenti melangkah. Ia berada tepat di depan gerbang rumahnya. Bangunan yang bertingkat itu tetap kokoh meski terjadi badai di dalamnya. Haven membuka pagar, lalu masuk. Penjaga yang melihatnya terkejut. Ia akan menyapa, tetapi urung saat menemukan raut Haven yang sedih.
Haven membuka pintu. Baru beberapa langkah masuk, seorang berdiri tidak jatuh darinya. Haven mendongak. Ia tersenyum tipis. Memang apa yang dirinya harapkan? Sang Papa selalu sibuk dengan pekerjaannya.
"Baru pulang kamu."
Haven yang akan naik ke lantai dua mengehentikan langkahnya. Wajahnya sedikit menoleh. "Iya," jawabnya dingin.
"Kapan itu Irfan ke sini, cari kamu."
"Udah tau."
"Haven, selama ini kamu di mana?"
"Di tempat yang peduli tentang diriku, Papa."
Papa Haven menghela napas. Kakinya maju mendekati kursi dan duduk di atasnya. Sementara Haven masih berdiri. Keduanya saling memunggungi seperti tak mau kenal satu sama lain. Padahal, dalam diri masing-masing ingin bertukar kabar.
"Kamu makan, kan?"
Sebelah asli Haven naik. Pertanyaan ini aneh sebab Papa belum pernah mengatakannya. Namun, Haven tetap menjawab, "Makan."
"Apa tempat itu lebih baik dari ini?" tanya Papa Haven yang merujuk ke rumah itu. Rumah megah yang dibangun untuk memenuhi keinginan Mama Haven, tetapi tidak sempat dinikmati karena dia pergi dengan cepat.
Rumahnya Ila apa rumahnya Irfan? Rumahnya Ila oke, ada makanan. Rumahnya Irfan oke juga, ada wifi. Haven mengernyitkan dahi. Di antara dua pilihan itu semua adalah tempat yang baik. Masing-masing dari mereka menawarkan fasilitas mewah.
"Nggak juga," balas Haven.
"Ya, seenggaknya kamu masih suka di sini. Haven, kamu udah makan?" tanya Papa Haven kemudian.
"Belum."
Papa Haven tersenyum kecil. Hatinya senang karena baru kali ini bisa mengobrol dengan anaknya lebih dari satu menit. "Kamu mau makan apa? Biar Papa yang beliin," katanya.
Haven berbalik badan. Ini jadi lebih aneh. Selama ini, Papa dingin dan bicara tanpa memakai basa-basi. Apa ada hal yang orang itu inginkan darinya? Haven melangkah mendekati. Di belakang kepala sang Papa, ia mengangkat dagu angkuh.
"Langsung aja ke intinya," kata Haven.
Papa Haven menghembuskan napas. "Pas kamu pergi, Papa ngerasa biasa. Lama kelamaan, Papa pikir ada yang salah. Kamu memang nakal, tapi nggak sampe pergi dari rumah. Saat Irfan dateng nyariin kamu, Papa mulai sadar, kamu memang pergi, tapi akhirnya balik. Kamu rindu Papa, Haven?" ungkapnya.
Tangan Haven mengepal di samping tubuh. Tas yang tersampir di bahunya jatuh ke lantai. Haven mengulum bibir. Ia tidak menyangka ada kekhawatiran untuknya di sini. Haven mengucek mata. Sial, hormon bayinya masih sisa.
"Haven?"
Papa Haven menjadi penasaran sebab tidak terdengar respons apapun. Ia berbalik. Matanya melebar menemukan Haven mengucek matanya. Papa Haven berdiri dan menghampiri putranya. "Jangan dikucek," sarannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Prince's Curse
Novela JuvenilHati-hati dengan hati wanita. Karena jika menyakitinya, kamu bisa jadi bayi. * * * Diberkati dengan paras rupawan serta tubuh proporsional, Haven sangat memanfaatkan kelebihannya. Remaja jangkung itu memikat banyak perempuan kemudian mencampakkan me...