🌱 12. Mama (2) 🌱

5.8K 501 26
                                    

"Mama!"

"Apaan sih? Berhenti manggil gue kek gitu!"

Tubuh mungil yang duduk itu tersentak. Bibirnya melengkung cemberut dan tak lama setelahnya, suara tangisan mengisi ruangan. Kulit wajahnya memerah serta air mengaliri pipi halusnya.

"Huwee ... huwaa ...."

Mika terganggu dengan suara keras itu. Kakinya melangkah melewati tubuh Haven. Gadis itu melangkah lebar, lalu duduk di samping Aqilla. Sementara itu, orang lain menganga menyaksikan Mika. Chelsea sampai menutup mulut, sedangkan yang lain mulai memunculkan prasangka di benak mereka.

Aqilla menatap punggung kecil di depannya. Ia berdiri dan mengambil Haven. Tanpa suara, gadis itu berjalan kembali untuk memberikan Haven kepada Mika.

"Huwee ... hiks, Mama!"

Mika terpaksa menerima. Sorot muaknya jatuh ke wajah Haven. Ia menatap tajam bayi dalam pangkuannya. Lewat gerakan mulut, Mika mengatakan supaya Haven tidak membuat masalah.

Baru dipanggil "Mama" lo udah ketar-ketir. Haven tertawa Dalam hati. Melihat raut Mika membuatnya puas. "Mama, Mama," panggilnya berulang kali.

"Chechel, coba tadi kita nggak ngintil Mika, nggak bakalan lihat beginian." Karin berbisik kepada Chelsea.

Dalam diam, Aqilla menatap wajah Haven, kemudian Mika. Gadis itu tengah membandingkan persamaan dua orang itu. Kemarin, ketika bertemu Mika, Irfan tenang, malahan memanggil Mika dengan sebutan "Ika". Aqilla memegang wajah bayi di hadapannya.

Mendapati wajahnya tiba-tiba disentuh, Haven terkejut. Namun, ia tidak menampik tangan Aqilla seperti yang dilakukannya kepada gadis lain. Mata bulatnya melebar memandang gadis berponi. Tanpa Haven ketahui, saat pipinya memerah.

"Mamanya Irfan mana?" tanya Aqilla.

Haven tersadar dari lamunannya. Menepuk pundak Mika, ia menjawab, "Mama."

Sialan, Mika mengumpat dalam hati. Kedua tangannya mengepal. Tanpa perasaan, ia melepas paksa Haven, kemudian mendudukkannya dengan kasar. Mika berdiri. "Qilla, gue tau bates," tegasnya.

Aqilla yang hendak mengambil teh, mengurungkan niat. Dilihatnya Haven yang cemberut. "Irfan, Ika mana?" tanya gadis itu.

Haven menggelengkan kepala. Bila ia bisa tertawa, maka sekarang juga dirinya tertawa keras. Melihat raut Mika yang panik adalah balas dendam terbaik. Namun, mendapati ekspresi Aqilla membuat Haven tak enak hati. Gadis itu bagai berdiri di tali dengan dua sisi, yaitu temannya dan orang asing.

Ish, ngapain sih gue? Aqilla kan baik karna gue bayi. Nggak usah baper! Nggak usah baper!

"Iya, sebagai temen dari kecil, aku tahu karakter kamu, tapi sekarang bukan itu. Mika, kamu mau tanggung jawab atas perbuatan-"

"Qilla! Gue nggak ngapa-ngapain!" sela Mika, "Gue nggak tau ini bayi siapa. Gue bener-bener nggak tau."

Aqilla menghela napas. "Irfan mau sama Mama apa Kak Qilla?" tanyanya.

Mata Haven melebar. Jari-jari tangannya meremat baju. Memilih antara Mika dan Aqilla, tentu dirinya memilih Aqilla yang baik hati. Haven mengedarkan pandangan. Perasaannya jadi kacau sebab harus memilih. Lama kelamaan, air keluar dari pelupuk matanya.

"Huwaa!"

Semua orang sama-sama terkejut. Tidak ada yang menyangka pertanyaan dari Aqilla berhasil membuat bayi itu menangis.

"Maaf, Irfan," sesal Aqilla. Ia membungkuk dan menggendong Haven. Tangannya menepuk pelan punggung Haven.

"Maaf, kalian bisa pulang."

Begitu mendengar ucapan Aqilla, Chelsea, Karin, dan Adel kompak berpamitan. Sedangkan, Mika masih di tempat. "Qilla," panggilnya sembari memegang lengan temannya.

Aqilla berjalan cepat dan menghilang di balik pintu. Hal itu membuat Mika kehilangan kesempatan.Tangan gadis itu menggantung di udara.

"F*ck."

🌱🌱🌱

"Irfan, kenapa nglamun?"

Irfan mendongak. Kepalanya menggeleng. "Enggak pa-pa, Kak," jawabnya.

Wanita yang mengenakan celemek mengangguk. "Gimana sekolah kamu?" tanyanya di sela kegiatan mengaduk adonan kue.

"Biasa aja, cuma hari pertama masuk kelas ada cewek yang bilang Irfan ganteng."

"Iya kah? Haha, kayaknya kamu udah punya penggemar."

Dahi Irfan berkerut. Jari-jarinya saling meremat di atas meja makan. Sekilas memang tidak ada yang aneh dengan gadis itu. Namun, setelah diperhatikan, ada yang berbeda. "Pernah nggak Kak Bella ketemu orang yang auranya nggak enak?"

"Kakak pernah ketemu orang yang kayak begitu, sering. Biasanya udah main ilmu hitam. Kamu ngerasa aneh sama cewek itu?"

Irfan mengangguk.

Bella meninggalkan dapur usai menyetel oven. Ia melepas celemek, kemudian bergabung di sebelah adik sepupunya. "Kamu takut dia main ilmunya ke kamu?"

"Ck, enggak, " jawab Irfan, "cuma aneh aja tiba-tiba dia manggil Irfan kayak gitu."

"Iya deh, tapi kalo suatu waktu kamu nemu keadaan yang nggak biasa, lapor sama Kakak, ya?"

Irfan menoleh ke samping. Matanya menyipit. Dirinya sedikit tidak setuju dengan ide itu. "Irfan bukan anak kecil, nggak perlu minta tolong Kakak melulu," balasnya.

Bella mengulurkan tangan mengusap rambut Irfan. Tiba-tiba ia mengubah menjadi menjambak. "Kamu emang bukan anak kecil, tapi bayi. Nggak usah sok kuat."

"Btw, kamu udah ketemu temen lamamu belum? Siapa namanya? Oh, Heaven. Namanya bagus," imbuh Bella.

Mendengarnya membuat Irfan teringat. Selama lima tahun ia belum lagi bertemu Haven karena sekolah di luar kota. Karena sekarang dirinya sudah di sini, maka nanti sore ia akan ke rumah Haven. "Belum. Irfan mau ke rumahnya nanti sore."

 🌱🌱🌱

Aqilla berjinjit mengambil kotak susu di rak lemari teratas. Sambil menggendong seorang bayi, ia menakar susu bubuk dalam sendok. Selesai menakar susu, Aqilla menuang air hangat ke dalam botol. Semua kegiatannya itu diawasi oleh sepasang manik mungil milik Haven. Haven sendiri heran melihat Aqilla. Tubuh kurus itu mampu menggendong dirinya dan melakukan aktivitas lain sekaligus.

Haven menerima botol susu. Rasa hangat dari botol membuat tangannya nyaman. Saat dicoba, rasa susu tidak begitu manis dan suhunya pas. Haven tersenyum. Kini ia sadar dirinya begitu menikmati momen menjadi bayi, dirawat sepenuh hati serta tidak dimarahi meski berbuat nakal. Dirinya adalah raja di rumah ini.

"Ila."

"Kenapa?"

"Mau oti."

Aqilla berjalan menuju meja. Masih menggendong Haven, satu tangannya membuka bungkus roti, lalu diberikannya kepada Haven.

Ketika Haven sibuk melahap roti juga minum susu vanila, Aqilla menatap intens. Dari segi muka, nggak ada yang mirip Mika, tapi warna kulitnya sama.

Lama kelamaan Haven sadar sedang diperhatikan. Dirinya merasa Aqilla mengagumi wajah tampan miliknya. Haven tersenyum hingga matanya melengkung. Kedua tangannya menyentuh pipi. Qilla suka sama gue? Hihi.

The Prince's CurseTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang