Fav - Eighteen

4.3K 853 331
                                    

Sebentar telungkup, sebentar telentang. Beberapa saat kemudian balik kanan, lalu balik kiri. Begitu terus selama hampir tiga puluh menit.

Doyoung yang tadinya berniat melampiaskan jenuh dengan menonton televisi, malah jadi emosi sendiri. Pasalnya, Jeno uring-uringan seperti itu di sofa, tepat di sebelah Doyoung. Gimana nggak terganggu?

Bunda yang baru keluar dari kamar juga ikut heran dengan tingkah anak bungsunya.

Sudah dua minggu ini wanita cantik itu mengunjungi suaminya di luar kota, baru pulang tadi sore dan mendapati kelakuan si bungsu yang jauh dari kata biasanya.

Seraya menunjuk si bungsu yang tengah memejamkan mata, Bunda menggerakkan bibirnya membentuk kata, 'kenapa'.

"Nggak tau, Bun. Udah kayak cacing kepanasan dari tadi. Capek liatnya. Suruh pindah kamar, lah! Ganggu orang nonton aja," jawab Doyoung, tanpa sungkan membesarkan suara.

Bunda mendelik. Susah payah tidak bersuara, si kakak malah hampir berteriak.

Jeno yang merasa digunjing, lantas bangkit dari posisi rebahannya. Dengan mata sayu dan bibir yang sedikit menekuk, ia memandangi kakak dan bundanya bergantian.

Sontak membuat ibu dan anak itu tergelak bersamaan.

"Muka kamu kenapa?" tanya Bunda sembari menahan kekehannya, takut Jeno mengamuk.

"Anying, muka lo lawak, Jen!" Lagi-lagi Doyoung tak sejalan. Ia semakin terbahak saat mendapat tatapan kesal dari adiknya.

"Bundaaaa," panggilnya pada wanita yang masih mengatupkan bibir itu.

Doyoung semakin tergelak. Bahkan tangannya sudah menepuk-nepuk sisi sofa, tak kuat mendengar rengekan adiknya.

"Bisa diem nggak?!" pekik Jeno, melayangkan tatapan tajamnya pada sang kakak.

"Oke," final Doyoung seraya mengangkat jari-jari membentuk tanda serupa.

"Sini cerita," ujar Bunda, menepuk lahan kosong di sebelahnya. Mengundang si bungsu bangkit dan berpindah tempat.

"Jeno bingung," gumamnya setelah menyandarkan kepala di bahu sang bunda.

Iya, sikap Jeno yang seperti ini termasuk kejadian langka, dan hanya terjadi jika ada Bunda.

"Aya?" Doyoung menebak, tepat sasaran. Rautnya sudah kembali serius. Karena ini kejadian langka, ia yakin masalahnya tidak sepele.

"Aya kenapa?" tanya Bunda seraya mengusap pelan lengan anaknya.

Jeno bimbang. Di satu sisi ia butuh tempat bertukar pikiran, namun di sisi lain ada masalah keluarga si gadis yang harusnya tak boleh ia ungkap tanpa izin.

"Jeno kalut, Jeno bentak Aya. Jeno bawa-bawa masalah keluarga," ujarnya mengaku. Jeda beberapa saat, ia melanjutkan ucapannya. "Jeno cemburu buta."

Iya, lelaki itu sudah merenungkan kesalahannya sejak kemarin. Dengan dorongan Jaemin dan omelan Haechan tentunya.

Ah, Renjun juga berkontribusi. Hanya saja, dalam bentuk makian. Sedikit pedas, namun benar-benar membuat Jeno sadar detik itu juga.

"Terus bingungnya kenapa?" tanya Bunda setelah diam beberapa saat.

"Jeno merasa bersalah, mau minta maaf tapi takut sama Bang Yuta."

Doyoung yang sejak tadi berusaha serius mendengarkan, sontak kembali terbahak. "Sorry, lanjut lanjut."

"Kenapa sama Bang Yuta?" Bunda kembali bertanya setelah menatap nyalang anak sulungnya.

"Bang Yuta pernah bilang jangan biarin Aya pulang sendiri. Tapi Jeno ... Jeno salah, Bun."

Favorite | Jeno✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang