Fav - Thirty Five

3.3K 696 453
                                    

Merasakan telapak tangan menyentuh pelan dahinya, Rayana mengernyit. Perlahan membuka mata, mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan netranya dengan pantulan cahaya lampu kamar.

"Morning."

Bibirnya menyunggingkan senyum tipis kala melihat wajah sang kekasih setelah terbangun dari mimpi buruknya.

Buruk.

Buruk sekali.

"Pintunya aku buka, kok. Tadi udah bilang Bang Yuta juga."

Rayana mengangguk pelan. Lalu mencoba bangkit dari tidurnya.

"Tiduran aja, badan kamu panas."

Mendengar itu, Rayana mengangkat telapak tangannya ke dahi. "Kok bisa?"

"Ya ... wajar, kan?" jawab Jeno ragu-ragu.

Rayana terkekeh pelan. "Kirain beneran."

"Apanya?"

"Aku tadi mimpi, rasanya nyata banget, Jen. Tapi lucu gitu, masa aku sama Bang Yuta beda ibu?"

Lelaki dengan kaus putih itu mengatupkan bibirnya rapat. Tampak bingung harus menjelaskan dengan cara apa.

"Nggak lucu, sih." Rayana menjeda seraya tertawa canggung. "Masih jam dua pagi, kamu kok bisa di sini?"

"Kamu tidur aja lagi. Mau aku ambilin air hangat dulu? Atau mau dikompres sekalian?"

"Kenapa, sih?"

Disertai senyumnya, Jeno menggeleng canggung. "Kan kamu sakit. Aku mau ngerawat, masa ditanyain kenapa?"

Rayana semakin mengernyit saat menyadari gaun yang ia pakai, ternyata bukan gaun tidur miliknya. "Jen ...?"

"Hm? Mau dipanggilin Bang Yuta?"

Rayana menatap bingung wajah lelaki yang masih tersenyum itu.

"Apa, Sayang?"

"Bukan ... mimpi?"

Jeno diam sejenak, lalu mendekat, merapikan anak rambut Rayana yang sedikit berantakan. "Tidur aja, kamu butuh istirahat."

"Beneran ... bukan mimpi?"

"Badan kamu panas, Aya."

Rayana sontak bangkit dari tidurnya. Kakinya hampir menginjak lantai kalau saja Jeno tidak menghalangi dengan memeluknya erat.

"Tidur, Rayana."

"Pengen nangis ..., tapi nggak bisa lagi," lirih Rayana, menolak paksa tubuh Jeno yang masih mendekapnya erat.

"Aku nggak pernah larang kamu nangis. Tapi untuk sekarang, jangan dulu, ya."

"Aku ... boleh marah nggak, sih?"

"Boleh."

"Aku harusnya bersyukur, kan? Di luar sana ada banyak yang nggak punya orang tua."

Jeno melepas pelukannya, lalu menatap lekat-lekat wajah sang kekasih. "Tuhan ... nggak pernah ngasih cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya. Ini cobaan masa lalu, Tuhan tau kamu mampu, makanya kejadian kayak kemarin itu ada."

Perlahan, bibir yang semula diam itu, bergerak melengkung ke bawah. Mata yang sudah sendu karena menangis tadi malam, kini kembali meloloskan cairannya.

"Ssstt, udah, ya?" Jeno kembali mendekap tubuh gadisnya, menepuk-nepuk pelan punggung yang sudah bergetar hebat itu.

"Ini ... bakal jadi yang terakhir kan, Jen?" ujarnya bergetar. "Aku harus nangis berapa kali lagi?"

Favorite | Jeno✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang