Fav - Twenty Five

3.9K 757 459
                                    

"Nyokap lo nelfonin Bunda terus, Na."

Lelaki yang tengah fokus menatap layar laptop itu menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. "Sorry, ya. Gue nyusahin."

"Apa, sih? Lo nggak ngerti maksud gue apa?" Jeno menatap malas punggung temannya itu.

"Lo nyuruh gue pulang, kan?"

Jeno berdecak kesal. "Gue nyampein kekhawatiran mama lo, Na. Oke kalo lo nggak mau pulang, seenggaknya kabarin mama lo lewat chat. Lo mau tinggal di sini juga gapapa, tapi jangan buat orang tua khawatir. Nggak berkah, Na."

Hening beberapa saat, Jaemin menghela napas panjang, lalu kembali berujar, "Bunda jawab apa ke Mama?"

"Lo nginep di sini."

"Terus Mama bilang apa?"

"Nangis."

Sontak membuat lelaki berkaus putih itu menoleh cepat. "Beneran nangis?"

Jeno menatap lekat sorot mata penuh khawatir milik temannya itu. Helaan napas kasar kembali terdengar di tengah keheningan.

Setelah kepulangan Haechan dan Renjun saat itu, Jeno menjadi satu-satunya pendengar yang mengetahui kisah lengkapnya dari Jaemin. Lelaki itu beralasan karena Jeno sudah mengetahui permasalahan Rayana, sepertinya tak apa jika ia bercerita juga.

Jujur saja, Jeno tidak memihak kesalahan mamanya Jaemin. Namun, terlepas dari masalah yang ada, wanita itu tetap ibu kandung Jaemin. Wanita yang kerap dibanggakan anaknya karena hal-hal kecil yang jarang dilakukan oleh seorang ibu pada umumnya.

Misalnya, menelepon di jam istirahat hanya untuk menanyakan hal sepele seperti, "hari ini Mama masak apa ya enaknya?"

Atau mengirim pesan singkat seperti, 'Mama diajak belanja sama ibu sebelah. Nana mau titip apa?'

Atau yang lebih sepele lagi, 'kucing liar yang sering dateng itu udah gemukan, Na. Kayaknya Mama harus beli pelet kucing banyak-banyak, deh.'

Setidaknya, beberapa kalimat itu yang membekas di ingatan Jeno. Rasanya lucu, hangat, juga ... miris. Dari yang ia tangkap setiap Jaemin bercerita, mama temannya itu termasuk wanita yang kesepian.

"Gue nggak tau harus ngomong apa nanti." Jaemin kembali berujar dengan kepala yang merunduk.

"Jangan dipikirin gitu. Lo bukan mau ngobrol sama orang baru, Na."

Jaemin menggeleng lemah. "Tiap mikirin Mama, gue langsung ngerasa bersalah sama Aya. Sayatan di tangan Aya terngiang-ngiang di kepala gue. Nggak enak banget, Jen."

"Lo nggak ngerasa bersalah udah buat nyokap lo nangis?"

"Aya ... baik banget. Gue yakin dia demam gara-gara gue," lanjut lelaki itu lagi.

Jeno tidak menjawab. Seolah membiarkan temannya itu menyelesaikan ceritanya lebih dulu.

"Kemarin itu gue minta maaf dari chat juga, Jen. Dia terus-terusan denial. Berkali-kali gue yakinin, dia masih nggak percaya. Gue makin ngerasa bersalah."

Jeno menghela napas pelan. "Terus?"

"Gue ... nekat kirimin dua bukti. Foto bokap Aya bareng Mama, sama foto gue bareng Mama."

Jeno diam sejenak, meneguk paksa salivanya, lalu memejamkan mata perlahan. Membayangkan sesakit apa hati gadis itu setelah melihat foto berduri yang dikirim temannya ini.

"Kenapa dikirim, Na?"

"Gue cuma mau wakilin Mama minta maaf. Kalo dianya nggak percaya, gue nggak bisa minta maaf, Jen. Egois ya gue?"

Favorite | Jeno✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang