Fav - Thirty Six

3.2K 676 409
                                    

Lima belas menit berlalu sejak gadis yang menangis semalaman itu terbangun, Rayana masih menatap lurus ke arah langit-langit kamar. Sesekali menghela napas panjang saat merasa segala hal yang terjadi masih berada di luar nalarnya.

Berusaha kuat menahan air mata, karena tubuhnya sudah terlalu lemah untuk menangis terus-terusan. Mencoba keras untuk menerima kenyataan, walau otak dan hati masih menolak sepenuhnya.

"Hidup bahagia ..., demi Mama Aya."

Benar.

Harusnya Rayana bersyukur masih mengetahui perihal ibu kandungnya di usia remaja ini. Tidak terbayang semenyesal apa dirinya nanti jika sampai mati pun tidak tahu ada wanita hebat yang berkorban nyawa untuk dirinya.

Mengingat sang ibu ..., sepertinya Rayana tidak akan mau merayakan ulang tahun lagi. Entah mungkin, tanggal itu akan menjadi tanggal yang paling ia benci dari 365 hari.

"Dek."

Rayana menoleh ke ambang pintu. Mendapati lelaki yang menjadi salah satu penyebabnya menangis, berdiri di sana seraya memegang nampan berisikan bubur dan obat-obatan.

Alih-alih menjawab, Rayana menarik selimutnya, lalu mengubah arah tidur membelakangi sang empunya suara.

"Nggak capek demam terus?"

Rayana menggeleng.

"Lo kalo banyak nangis jatuhnya demam. Makanya udahan."

Rayana hanya berdeham sebagai jawaban.

"Bongshik di kamar gue, berisik banget. Lo nggak kangen Bongshik?"

Rayana tidak menyahut. Samar-samar terdengar suara kursi yang ditarik mendekat ke sisi kasur.

"Makan dulu, lo makan apa tadi malem?"

Rayana diam. Sejenak, ia teringat soal Papa yang berencana memasak makan malam, namun gagal dan berujung tangis sampai sekarang.

"Besok sekolah. Udah kelas tiga, mau izin berapa hari lagi?"

Rayana masih enggan menjawab.

"Makan dulu, Dek. Lo nggak makan ya tadi malem?"

Rayana menggeleng pelan. Kali ini, ia mendengar bunyi nampan yang diletakkan di atas nakas.

"Se-nggak mau itu ngobrol sama gue?"

Rayana menghela napasnya. Bukan maksud mengabaikan Yuta, jika mendengar suaranya saja hampir membuat Rayana menangis, konon berbicara sambil menatap muka?

"Maaf, Aya. Jangan giniin gue ...."

Mendengar suara parau itu, Rayana memejam perlahan. Seperti ada luka tertutup yang dipaksa terbuka kembali pagi ini.

"Jangan buat gue ngerasa hidup gue emang nggak ada gunanya. Gue selalu berusaha kuat, tapi tiap berhadapan sama lo yang nyalahin gue ..., gue nggak bisa. Bawaannya pengen mati aja."

"Bang ...."

Mulut sialan lelaki itu, memang selalu berhasil memancing air mata Rayana.

Favorite | Jeno✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang