Sesampai dirumah Pak Erick, aku masuk kekamar yang biasa aku tempati dan memilih duduk di kursi yang bisa melihat kehalaman samping alih-alih membersihkan diri dan berisitirahat. Aku terdiam, memikirkan semua perkataan mahasiswa-mahasiswi yang bergosip tentang pak Erick dan Bu Wida. Apa yang tadi kudengar terngiang-ngiang ditelingaku. Aku bukan mahasiswi fakultas tehnik, jadi aku tidak begitu tahu gosip apa yang sedang menghangat disana. Apakah benar Pak Erick dan Bu Wida punya hubungan khusus, kalau memang iya kenapa pak Erick terlihat santai membawaku kerumahnya. Kalaupun pak Erick tidak memiliki hubungan khusus dengan Bu Wida kenapa para mahasiswa dan mahasiswi tehnik bicara seolah-olah mereka pasangan serasi? Tidak mungkin ada gosip jika tidak ada tindakan dari mereka berdua. Kenapa juga Pak Erick dan Bu Wida harus pergi bersama, meski disitu pak Seno juga ikut, apa tidak bisa salah satu saja dari pak Erick atau Bu Wida yang pergi, lagipula di fakultas tehnik ada banyak dosen yang tidak kalah bagusnya dengan pak Erick atau Bu wida. Aku melempar pandanganku keluar jendela, beberapa tukang kebun pak Erick sedang membersihkan rumput liar dan memangkas tanaman.
Pintu kamarku diketuk, aku menoleh dan melihat pak Erick mengintip dari sela pintu. Lelaki itu menaikkan alisnya dan masuk kedalam kamarku seraya membawa camilan dan minuman diatas nampan.
"Belum bersih-bersih? Apa Abang mengganggu?" Aku menggeleng. Pak Erick bersimpuh di hadapanku setelah meletakkan nampan berisi makanan di meja kecil dekat jendela.
"Ada apa, hmmm? Ada sesuatu yang mengganggumu?" Pak Erick bertanya seraya memainkan ibu jarinya mengusap punggung tanganku yang kini berada dalam genggamannya.
"Tidak ada apa-apa, bang." Ujarku seraya memperhatikan genggaman tangannya ditangaku. Pak Erick sering menunjukkan kasih sayangnya dengan sentuhan ringan dikulitku. Ia tidak hanya berkata-kata, seringnya ia melakukan tindakan untuk membuktikan bahwa dirinya menyayangiku, meski itu tindakan kecil.
"Biasanya kalau anak gadis bilang tidak ada apa-apa pasti ada yang disembunyikan. Apa Abang sudah berbuat salah sama kamu, yang tidak Abang sadari? Atau kamu terganggu dengan kepergian Abang?"
"Sungguh tidak ada apa-apa. Aku tadi masih istirahat karenanya aku duduk dulu, ini aku mau bersih-bersih." Aku berusaha mengelak. Aku tidak ingin dianggap sebagai kekasih yang posesif karena cemburu dengan Bu Wida hanya karena mendengar omongan orang mereka memiliki hubungan. Sebaiknya saat ini aku percaya dengan pak Erick yang hanya memiliki aku sebagai kekasihnya dan tidak ada wanita lain di hatinya. Kalau kupikir memang sebaiknya aku mengabaikan gosip yang belum tentu benar itu, kalau pak Erick ada hubungan dengan Bu Wida, mana mungkin beliau melamarku, dan Tante Rosy pasti akan bicara dan tidak menganggap ku menantunya.
"Aku bersih-bersih dulu ya bang." Pak Erick bangkit dari hadapanku bersamaan dengan aku berdiri dari dudukku, beliau lalu duduk ditempat yang baru saja aku duduki. Sebelum aku melangkah pergi pak Erick meraih tanganku dan menarikku hingga aku duduk menyamping di pangkuannya, aku terpekik karena terkejut dengan tingkahnya. Pak Erick memeluk pinggangku hingga aku dapat melihat kedua netra matanya menatapku penuh kasih sayang.
"Ada apa, sayang?" Pak Erick sudah menangkup kedua pipiku untuk menghadap kearahnya, ia tersenyum lembut membuatku merasa bersalah karena mendiamkannya, sepertinya ia tidak akan menyerah untuk mencari tahu sampai aku mengatakannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" Dia bertanya seraya menatapku lembut. Kedua tangannya yang besar dan hangat menangkup pipiku.
"Aku baru sadar Abang punya banyak penggemar. Maksudku Abang punya banyak orang yang menyukai Abang dan ingin memiliki Abang."
"Apa ada sesuatu?" desaknya tidak menyerah. Aku lalu menceritakan apa yang kudengar di cafe. Pak Erick mendengarkan dengan seksama sebelum kemudian dia tersenyum penuh arti. Perlahan ia memajukan wajahnya dan mengecup bibirku dengan singkat membuat tubuhku meremang seketika. Sentuhannya sudah membuat kinerja jantungku menggila apalagi ciumannya. Biasanya pak Erick mengecup pelipis, kening atau pipiku, tapi kini beliau mengecup bibirku meski itu sekilas saja tapi berefek dasyat padaku. Aku merasa wajahku merah padan menahan malu.