"Ayla, sayang!"
Pak Erick bergegas mendekatiku dengan wajah penuh kekhawatiran. Aku melihat matanya yang memerah karena marah dan air mata. Dalam hati aku bertanya apa yang telah terjadi dan kenapa pak Erick jadi semarah itu hingga menghancurkan barang-barang. Untung Tante Rosy tidak ada dirumah, kalau ada pasti akan sangat mencemaskan keadaan pak Erick.
"Maafkan aku sayang." Ujarnya penuh penyesalan. Ia segera mengangkat tubuhku dari atas pecahan kaca dan membawaku ketempat yang sedikit bersih dari barang-barang yang tadi sudah dihancurkannya. Berulang kali permintaan maaf terucap dari bibirnya.
"Richard, Ayla!" Sebuah suara terdengar di pintu ruang baca.
"Apa yang terjadi? Kalian bertengkar?" Aku melihat dokter Bryan datang dan menghampiri kami dengan raut wajah khawatir setelah dengan susah payah berjalan diantara pecahan kaca dan barang-barang berserakan lainnya.
"Kalian terluka, ya Tuhan, bisakah kalian menjelaskan ada apa ini?" tanya dokter Bryan pada kami.
"Bry, tolong Ayla. Dia terluka."
"Bawa Ayla keluar, berbahaya kalau masih disini." Pak Erick menggendongku dan membawaku ke ruang keluarga. perlahan dirinya menurunkan diriku di sofa bed yang ada diruang keluarga.
"Miringkan saja, Rich." Pak Erick menurut, ia membantuku untuk tidur miring, dokter Bryan keluar dan kembali beberapa saat kemudian dengan peralatan dokternya.
"Kamu melukai Ayla?"
"Aku jatuh" // "aku melukainya." Pak Erick dan aku menjawab bersamaan. Dokter Brian menggeleng mendengar jawaban kami yang berbeda.
"Tolong kamu tahan, ini agak menyakitkan untuk Ayla. Baby, kamu tahan sakit kan?" Pak Erick melotot kearah dokter Bryan saat temannya itu memanggilku baby.
"Don't baby, her!"
"Tenang, Rich. Jangan emosi. Aku tidak akan mengambil Ayla darimu. Ada apa dengan dirimu?"
"Jangan banyak bicara sebaiknya kamu segera mengobati Ayla." Dokter Bryan mengangkat tangannya menyerah. Ia segera mengobati diriku, mengambil serpihan kaca yang menancap di tubuhku.
"Kau bisa duduk?" Aku mengangguk, aku berusaha duduk tapi ternyata aku tidak bisa, ada beberapa pecahan kaca di paha bagian bawahku.
"Tengkurap saja, kamu tidak bisa berbaring dengan kaca yang menusuk punggungmu, baby." Aku menurut, dengan dibantu pak Erick, aku mencoba tengkurap. Dokter Bryan segera mengobatiku, sayangnya posisi tengkurap membuatku sedikit pusing.
"Ada yang kamu rasakan?" tanya dokter Bryan karena melihatku banyak bergerak dan mencoba mengangkat kepalaku.
"Pusing." Ujarku lemah. Aku meringis menahan sakit di punggung, lengan dan kakiku.
"Sayang." Pak Erick mencoba memelukku, hingga aku berbaring di atasnya, dengan dokter Bryan yang masih merawat luka-lukaku. Tiba-tiba aku merasa kepalaku berdenyut denyut dan sesaat kemudian kesadaran ku mulai hilang diganti dengan kegelapan.
***
"Sayang, kamu sudah sadar?" Aku mendengar suara pak Erick yang duduk menungguku. Ada kecemasan dan kekhawatiran dalam sorot matanya.
"Abang." Aku berusaha mengingat apa yang terjadi dan kenapa aku berbaring telungkup diatas tempat tidur. Aku berusaha bangkit karena merasa dadaku sesak. Dengan sigap Pak Erick membantuku agar aku bisa bisa duduk, diletakkannya beberapa bantal agar pahaku yang terluka sedikit terangkat.
"Abang tidak apa-apa?" tanyaku meraih wajahnya. Aku mengkhawatirkan keadaan Pak Erick. Sedikit banyak aku merasa pak Erick marah karena fitnah yang dilakukan oleh Bu Wida padanya. Aku segera memperhatikan pak Erick dengan seksama. Melihatnya tidak bersemangat dan tertekan membuatku merasa iba. Aku mengulurkan tanganku meminta dia memelukku. Kurasa Tidak ada yang bisa kulakukan untuk menguatkannya selain sebuah pelukan.