8

2.1K 199 9
                                    

Aku panik, pak Erick tak sadarkan diri hingga aku membaringkannya disofa dalam ruang kerja kak Leon dengan bantuan kak Leon. Lelaki seumuran pak Erick itu tampak khawatir. Ia segera meraih ponselnya dan menghubungi seseorang temannya yang berprofesi sebagai dokter.

"Aku telpon dokter, Erick ada keluhan sama kamu?." Kak Leon menelfon dokter yang kuketahui bernama Brian. Kak Brian adalah teman pak Erick dan kak Leon

Aku berusaha menyadarkan pak Erick dengan memberinya minyak kayu putih yang selalu tersedia didalam tasku sambil menunggu kedatangan dokter Brian.

"Gimana ini kak?" Tanyaku khawatir. Wajah pak Erick pucat dan ada keringat di pelipisnya. Suhu tubuhnya pun sedikit panas.

"Ayla." Pak Erick tersadar dan memanggil namaku dengan lemah. Aku segera menggenggam tangannya.

"Ayla disini bang. Abang tiduran aja dulu, sebentar lagi dokter Brian datang." Aku berusaha menenangkan. Aku memberinya teh hangat yang sudah disiapkan oleh kak Leon.

"Badan Abang sakit semua, Ay."

"Aku sudah telepon Brian, sebentar lagi dia datang. Apa yang terjadi, kamu tidak pernah sakit."

"Entah, tiga hari terakhir aku merasa tubuhku tidak baik-baik saja."

"Coba kamu suapi roti itu, Ay. Biar Richard bisa langsung minum obat nanti." Aku mengambil roti yang sudah disiapkan kak Leon dan menyuapi Pak Erick. Lelaki itu mengunyah seraya memejamkan matanya. Tak berapa lama kami menunggu seseorang datang dan menyapa Pak Erick dan Kak Leon.

"Leon, Richard." Seorang lelaki berwajah oriental masuk keruang kerja kak Leon.

"Richie tiba-tiba pingsan. Badannya panas." Aku segera menyingkir memberi ruang untuk dokter Brian memeriksa pak Erick.

"Kamu dari mana?"

"Abang dari luar kota, seminggu ini seminar."

"Dia Ayla." Kak Leon memperkenalkanku, ketika melihat raut bertanya-tanya dari wajah dokter Brian. Teman pak Erick itu hanya mengangguk mengerti.

"Sudah berapa lama kamu merasa tidak enak badan?"

"Tiga hari ini aku merasa demam. Aku pikir kecapekan saja. " Aku terkejut, pak Erick sakit dan tidak memberitahuku. Mungkin dirinya tidak ingin aku merasa cemas.

"Typusmu kambuh, tapi coba lihat tiga hari kedepannya, jika tidak turun setelah minum obat kau harus periksa laborat. Aku akan memberimu suntikan agar kau tidak terlalu lemas."

"Terserah saja. Kepalaku pusing."

"Apa kau makan teratur?"

"Sebelumnya ia, hanya saja seminggu terakhir tidak, kegiatan seminarku sangat padat dan entah kenapa aku mulutku terasa pahit dan susah menelan."

"Aku tidak bawa obat jadi aku tuliskan resepnya saja." Dokter Brian memberikan resep untuk pak Erick padaku. Aku segera mengambilnya tapi kemudian diminta kak Leon. Ia meminta salah satu pegawainya untuk membeli obat di apotek yang berada tak jauh dari cafe.Aku juga menanyakan makanan dan minuman apa saja yang boleh dan tidak boleh untuk pak Erick.

"Mama sudah menelfonmu?"

"Iya tadi mama ke kampus dulu sebelum ke bandara."

"Jangan bilang kalau Abang sakit ke mama ya. "Aku tak ingin mama cemas Ay." Aku mengangguk mengerti. Lagipula mama sudah menitipkan pak Erick kepadaku. Aku tidak ingin menambah beban pikiran Tante Rosy.

"Asal Abang janji mau menuruti kata-kataku."

Pak Erick berdecak sebal mendengar ucapanku. Aku tersenyum hingga Pak Erick menarikku agar duduk lebih dekat dengan dia. Pak Erick menumpukan kepalanya di bahuku.

AYLA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang