Skripsiku berjalan lancar, meski aku hamil tapi sama sekali tidak mengganggu aktivitasku. Pak Erick banyak membantuku dalam menyelesaikan skripsiku, meski dirinya harus teler karena kehamilanku tapi dirinya tetap menjadi suami serta ayah siaga dan bertanggungjawab membantuku mengerjakan skripsi sekaligus menjadi papa yang menuruti semua keinginan anaknya. Selama aku hamil, pak Erick lah yang mengalami cauvade syndrome. Kasihan juga melihat pak Erick harus merasakan mual dan muntah. Belum lagi nafsu makan yang tidak jelas, dan tingkat kemesuman yang cenderung mendekati akut.
"Mau aku ambilkan minyak kayu putih bang?" Pak Erick menggeleng saat aku membantunya mengurut tengkuknya ketika dia mengalami morning sickness. Ini sudah trisemester ketiga. Usia kehamilanku sudah memasuki tujuh bulan. Harusnya pak Erick tidak mengalami morning sickness lagi.
"Peluk Abang, Ay." Aku membantunya untuk duduk di sofa, tapi pak Erick menolak dan memintaku untuk membawanya ketempat tidur.
"Aku buatin air jahe ya, bang." Melihat keadaannya yang sedikit pucat aku merasa kasihan juga. Tapi sekali lagi pak Erick menggeleng.
"Peluk saja, Ay. Jangan kemana-mana." Aku menurut, segera kuposisikan tubuhku untuk memeluknya. Pak Erick akan mengusap-usap perutku sambil menikmati belaian tanganku dirambutnya.
"Jadi ikut wisuda sekarang?"
"Iya bang, biar cepet kelar. Setelah itu aku fokus mau ngurus cafe. Kasihan bang Leon tidak ada yang bantu. Cafe kita semakin ramai karena bang Leon menambah varian makanan dan minumannya."
"Jangan, nanti abang minta Leon rekruit orang saja. Kamu fokus sama anak kita. Abang tidak mau anak Abang dipegang baby sitter. Kita akan mengurus anak kita bersama. Kita akan belajar bersama untuk jadi orang tua." Aku mengangguk setuju. Pak Erick tersenyum saat tangannya merasakan gerakan dari bayi kami.
"Kamu setuju dengan papa kan sayang?"
Sebuah tendangan diberikan bayi kami sebagai jawaban atas pertanyaan sang ayah.
"Anak pintar." Sebuah kecupan diberikan pak Erick diperutku yang membuncit dan tidak tertutup apapun karena sang papa yang sudah menyingkirkan penutupnya.
"Kita lihat saja nanti bang, paling ngga aku tetep harus ke cafe. Tidak enak rasanya hanya berpangku tangan. Mungkin aku bisa memasak dirumah dan mengirimnya ke cafe untuk dijual. Ini impian aku memiliki usaha sendiri jadi aku tidak ingin membiarkannya."
"Baiklah kalau bagitu, yang penting anak kita dan Abang tetap prioritas kamu nomor satu."
"Mama kapan pulang, bang?"
"Saat wisuda kamu nanti mama pulang. Kamu ngga apa-apa kan wisuda dengan perut buncit begini?"
"Ngga apa-apa donk bang, memang kenapa?"
"Kamu makin sexy saat hamil. Abang yang ngga rela sebenernya."
"Orang hamil mana ada sexy sexy nya bang, kelihatan gendut iya."
"Ay, kita foto maternity ya? Abang punya kenalan fotografer cewek. Kayanya keren kalau kamu foto maternity dengan gaya sexy."
"Ngga mau ah, malu, masa perut buncit gini mau dipamerin. Abang jangan aneh-aneh dech.
"Kan ada Abang juga, lagian fotografer nya cewek. Mau ya, sweety. Kita fotonya dirumah saja. Abang sudah beli bajunya untuk kamu pakai nanti. Nanti Abang ikut foto juga kok."
"Jadi meski aku nolak juga percuma kan, karena Abang sudah menyiapkan semuanya." Pak Erick hanya tersenyum penuh kemenangan. Kemudian pak Erick melepas pelukanku dan berjalan menuju lemari pakaian kami. Ia mengambil dua buah paperbag yang berukuran cukup besar lalu mengeluarkan isinya. Sebuah gaun sutra panjang untuk ibu hamil berwarna putih gading dengan belahan yang sampai pangkal paha tanpa lengan. Lalu ada lagi baju hamil dengan panjang diatas lutut, sebuah headban dari Bunga dengan taburan Swarovski, dan beberapa perhiasan lainnya.