Aku baru keluar dari ruangan dosen pembimbingku untuk skripsi ketika kulihat kak Revo berdiri tak jauh dari pintu masuk.
"Ayla, bisa bicara sebentar." Aku sedikit mengernyitkan kening ku dengan ajakannya. Setelah sekian lama tidak bertemu, aku merasa aneh tiba-tiba punya urusan dengannya.
"Ada apa ya kak? Aku sudah ditunggu suami aku." Bukannya aku sombong, saat ini lebih baik menghindar berbincang ataupun bersama lelaki lain daripada harus menghadapi kecemburan pak Erick yang semakin menjadi-jadi setiap harinya. Pak Erick bahkan cemburu dengan kak Bryan dan dosen pembimbingku karena mereka berjenis kelamin lelaki. bahkan suamiku itu sampai iku memeriksa hasil skripsi ku sebelum diserahkan ke dosen pembimbing, alasannya agar aku tidak bolak balik bimbingan karena revisi.
"Kita bicara disana saja." Ujarnya seraya menunjuk bangku panjang yang ada tak jauh dari ruang dosen. Aku mengikutinya dan duduk di bangku panjang itu.
"Lagi nyusun skripsi Ay? Bab berapa?"
"Baru bab dua mau bab tiga. Ada apa ya kak?" Tanyaku tanpa basa-basi. Seharusnya kak Revo tidak berkeliaran di kampus mengingat dirinya sudah selesai kuliah dan tinggal menunggu wisuda.
"Ini tentang Tante Terre. Bisa minta tolong pak Erick untuk memulihkan nama baik Tante aku? Tante dipecat tidak hormat dari Bimantara, dan itu membuatnya terpukul."
"Kenapa kak Revo tidak minta bantuan kak Bani?"
"Bani tidak mau membantu."
"Kurasa pak Erick juga tidak bisa membantu. Pak Erick bukan pemilik Bimantara, dan setahu aku antara Bimantara dan Green Resource sudah tidak ada kerja sama lagi." Ponselku berbunyi, nama pak suami terpampang dilayarnya. Aku minta ijin mengangkat teleponku dan kak Revo hanya mengangguk.
"Pulang, sweety. Ngapain kamu malah duduk dengan Revo?" Aku menoleh ke kanan dan kekiri mencari keberadaan pak Erick dan kulihat suamiku itu sudah memasang wajah masam dan terlihat menahan amarah. Benar kan sekarang wajah suamiku sudah siap untuk menelan orang.
"Iya bang."
"Sekarang, sweety!" Ujarnya dingin. Aku bergegas bangkit dari dudukku sebelum pak suami datang dan menyeretku. Tidak lucu kalau kami jadi tontonan karena kecemburuan pak Erick pada kak Revo.
"Maaf kak, aku pulang dulu. Aku bisa membantu masalah bu Terre. Pak Erick pasti tidak akan menyukai ini." Tanpa menunggu jawaban dari kak Revo aku bergegas pergi dan segera menemui suamiku itu. Pak Erick langsung memeluk dan menciumku, tidak perduli dimana kami berada.
"Abang malu tahu, banyak yang lihat." protesku.
"Jadi kamu malu dipeluk dan dicium suami kamu sendiri."
"Ini tempat umum abang." Kataku memberi pengertian.
"Biar mereka tahu kamu itu sudah punya suami. Abang tidak suka lihat kamu duduk berdua sama Revo apapun alasannya."
"Tanpa Abang beritahu sekampus tahu Abang suami aku. Siapa dulu yang buat kehebohan dikampus." Pak Erick hanya mengendikkan bahunya seraya menggandengku pergi menuju mobil kami.
"Kenapa Revo nemuin kamu?"
Lalu mengalirlah cerita tentang Bu Terre seperti yang diceritakan kak Revo padaku dan permohonan kak Revo agar Pak Erick membantunya. Pak Erick hanya terdiam setelah mendengarkan ceritaku. Sepertinya dia tidak berminat untuk membantu Bu Terre.
"Bagaimana skripsinya?" Tanyanya lagi. Aku tahu dia tidak ingin kami membahas masalah Bu Terre.
"Baik, langsung bab tiga, Pak Bambang hanya tersenyum saja saat memeriksa bab duaku. Aku hanya dikasih waktu seminggu untuk menyelesaikan bab tiga. Kata pak Bambang semakin cepat selesai semakin baik, biar pak Richard tidak perlu cemas istrinya sering bertemu pak Bambang." Pak Erick hanya tertawa mendengar ceritaku.