Kala itu pukul sepuluh malam, di rumah sakit tepatnya di tempat bertuliskan Instalasi Gawat Darurat—di dalam dekap hangat gendongan Ayahnya—Arin kecil berumur sembilan tahun mengerjapkan matanya berulang kali. Ia mengantuk setengah mati namun ia berusaha menahan kantuknya sebab terlalu penasaran dengan apa yang tengah orang-orang di dalam ruangan itu lakukan pada Ibunya.
Raut wajah khawatir Ayahnya semakin makin membuat Arin kebingungan. Hingga beberapa orang dewasa keluar dari ruangan tersebut dan menghampiri mereka lalu mengatakan kalimat singkat yang saat itu sulit untuk Arin artikan namun hebatnya mampu membuat Ayahnya menangis sejadi-jadinya hingga sekujur tubuhnya bergetar.
Arin sembilan tahun tidak terlalu mengerti dengan apa yang terjadi saat itu, beberapa hal pasti yang dapat ia tangkap ialah fakta bahwa Ibunya sudah tidak dapat membuka mata, Ibunya tidak bisa lagi tinggal disisinya, sebab Ibunya sudah pergi jauh. Arin kecil ikut menangis karena orang-orang disekitarnya menangis, terlebih Ayahnya yang terlihat berusaha kuat di depan banyak orang namun meraung tak ingin ditinggalkan oleh Ibu saat ia sedang sendirian di kamar.
Asma merenggut nyawa Ibunya.
Kata dokter, Ibunya bahkan sudah dinyatakan tidak bernyawa lagi sesampainya di rumah sakit. Ternyata pelukan yang sempat Arin berikan pada Ibunya di mobil tadi adalah dekapan hangat terakhir yang mengantarkan kepergian Ibu.
Arin kecil yang awalnya sama sekali tidak mengerti pun lambat laun mulai paham dan merasakan kehilangan, nyatanya ia belum bisa terbiasa tanpa Ibu, Arin ternyata tidak bisa apa-apa tanpa adanya bantuan Ibu. Kunciran Ayah pada rambutnya tidak serapih dan sekreatif yang biasanya Ibu buat, nasi goreng buatan Ayah juga tidak seenak buatan Ibu, Ayah bahkan tidak pernah mengingatkannya untuk membawa buku sesuai dengan jadwal pelajaran sekolah.
Arin banyak menangis kala itu, pada Arjuna ia berpura-pura menangis karena salah bawa buku pelajaran, terkadang juga menjadikan ikatan rambut asalnya sebagai alasan, padahal ia menangis karena rindu pada Ibunya. Meskipun cuek dan terlihat tidak peduli, sebenarnya Arjuna kecil paham dengan keadaan Arin saat itu.
Walaupun Arjuna tidak menyukai Arin karena selalu berisik dan mengganggunya, namun ia tetap berada disamping sahabatnya itu, ia bahkan tergerak untuk menenangkan Arin dengan cara membelikannya banyak jajanan kesukaannya.
"Kamu mau nggak?" Arjuna kecil bertanya dan dibalas anggukan cepat oleh Arin yang masih tersedu-sedu.
"Kalo kamu mau, kamu harus berhenti nangis. Aku gak suka dengernya, berisik. Terus muka kamu jadi jelek karena kamu nangis." Arin langsung menghentikan tangisnya dan merasa tersinggung sebab dikatai jelek. Dipukulnya pelan lengan Arjuna masih dengan muka cemberutnya yang malah terlihat menggemaskan.
"Kita bagi dua," gumam Arjuna agak ragu.
Arin mengernyit kebingungan dan seketika melupakan rasa kesalnya, "bagi dua apa?"
"Mamaku, mulai sekarang Mama aku jadi Mama kamu juga." Arjuna menjelaskan.
"Emangnya boleh?"
"Boleh, tapi jangan diambil dan dibawa ke rumah kamu."
"Terus?"
"Kamu yang datang ke rumahku, atau sesekali aku suruh Mama yang nyamperin."
"Tapi nanti Ibu cemburu."
"Biar enggak cemburu, sesekali kita kunjungi Ibu supaya Ibu tidak kesepian." Mendengar saran dari Arjuna, gadis kecil itu tersenyum senang dan mengangguk setuju.
"Arjuna, kalau begitu kita ajak Ayahku juga ya, soalnya Ayah masih sering nangis sendirian di kamar."
"Boleh."
KAMU SEDANG MEMBACA
One in Ten Thousand || Na Jaemin
Teen Fiction"Gue suka sama Azeline, bukan sama lo." "Seriously, Arjuna? Gue tunangan lo!" "Stop bilang kalo gue tunangan lo! Gue udah muak sama fakta itu, gue capek harus ngimbangin sikap sok princess lo yang makin ke sini makin bikin gue jijik tau gak? Lo kalo...