07

1.4K 126 9
                                    

"Makasih ya, Arjuna, tapi kayaknya kamu gak perlu sampe segininya." Adalah kalimat pertama yang Azeline ucapkan sesampainya mereka di pelataran depan rumah sederhana gadis itu. Hanya sebuah rumah berukuran tidak terlalu besar dengan halaman yang nampak asri.

Arjuna tersenyum kecil lalu berujar, "gue udah bilang belum sih kalo gue mau deketin lo?"

Di hadapan Arjuna, Azeline sempat terdiam mematung sebelum akhirnya kembali tersadar dan membalas pertanyaan mengejutkan itu. "Arjuna, aku bukannya gak mau, tapi Arin—"

"Gue gak suka Arin," potong Arjuna cepat. "Gue sama Arin cuma temen kecil karena orangtua kita temenan plus tetanggaan, masalah tunangan dan segala macemnya itu gue terima karena gue dipaksa, Zel."

Azeline mendadak kikuk dan menatap tangannya yang digenggam oleh Arjuna erat. Kemudian ia berujar pelan, "Arin beneran tulus sama kamu dan seharusnya kamu gak sejahat itu karena posisinya sekarang dia tunangan kamu walaupun atas dasar paksaan,"

Arjuna menghela napas berat kemudian mengusap kasar wajahnya, "itu cuma karena dia udah terbiasa sama gue sejak dulu, dia masih bergantung sama gue karena dia belum berhasil nemuin orang yang tepat."

Bohong. Bohong kalau Arjuna menganggap Arin benar-benar seperti itu, ia hanya memaksakan otaknya untuk berpikir demikian tanpa memperdulikan perasaan gadis itu sebenarnya. Ia mencoba untuk beranggapan bahwa Arin tak ingin kehilangannya karena merasa bahwa Arjuna adalah satu-satunya orang yang memahami semua tentangnya, tanpa mau mencari orang lain yang benar-benar ia cintai dan mencintainya. Berusaha menutup mata tentang fakta yang sebenarnya ia ketahui tentang sedalam apa Arin mencintainya.

"Lo gak usah takut sama Arin, gak usah peduliin omongan orang juga. Ada gue yang bakal lindungin lo,"

"Tetep aja aku gak bisa,"

"Kenapa? Lo suka sama gue, dan gue lagi berusaha buat suka balik sama lo. Apalagi masalahnya, Zel?"

"Kamu gak lagi memperalat aku supaya kamu bisa lepas dari Arin kan?"

"Astaga, lo mikir apa sih?!" Pemuda itu merasa tak habis pikir dengan dugaan Azeline terhadapnya.

"Arjuna, aku cuma takut—"

"Percaya sama gue, Zel. Gue gak sejahat itu." Kata Arjuna meyakinkan sekali lagi.

****

Akibat Pak Parjo yang masih cuti hingga tak bisa menjemputnya, Arin pun menerima tawaran Gita yang bersedia mengantarnya pulang. Sebelum itu mereka mampir sebentar ke toko aksesoris yang ada di salah satu pusat perbelanjaan. Arin mengenakan hoodie berwarna mint milik Arjuna yang memang ia simpan di dalam loker sekolahnya, kalau kata Arjuna; pegang aja dulu siapa tau nanti lo perlu. Ia membalut seragam putih sekolahnya dengan hoodie yang terlihat sedikit kebesaran di tubuh mungilnya itu.

"Rin, jedai lo udah bejibun di rumah," Gita memperingati Arin yang hendak meraih sebuah jepitan, gadis itu segera tersadar dan mengurungkan niatnya sambil menampilkan cengiran lucunya.

"Bingung deh mau beli apa," keluhnya. Arin memutarkan penglihatannya ke seluruh penjuru toko, kemudian pandangannya terpaku pada sebuah bingkai foto lucu yang mampu menarik perhatiannya.

"Git, ini bagus gak?" Tanyanya sambil mengangkat sebuah bingkai foto berbentuk love dengan ukuran sedang.

"Bagus, buat apaan dah?"

"Foto gue sama Juna," mendengar itu Gita membelalakan matanya tak percaya.

"Isi kamar lo udah foto sama Arjuna semua, Rin, masih kurang?" Memang Gita ini adalah sebaik-baiknya sahabat yang baik. Ia selalu bersedia memberikan nasihat pada Arin semata-mata bukan karena tidak ingin Arin memboros uang—uang Arin unlimited soalnya—tapi karena tidak mau jika hal-hal yang dibeli oleh Arin itu berujung mubazir karena tak dimanfaatkan dengan baik.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang