21

2.6K 136 0
                                    

Terik matahari siang ini membakar kulit seluruh murid kelas dua belas yang mendadak disuruh berbaris di lapangan outdoor lantaran aula sekolah mereka sedang dalam proses renovasi. Arin sendiri tidak tahu apa penyebab mereka mendadak dikumpulkan sampai-sampai rela menghentikan kegiatan belajar mengajar.

Ternyata yang menyampaikan pengarahan adalah Pak Malik sang pembina osis, informasi yang ia sampaikan berupa kegiatan kemah yang menjadi agenda rutin tahunan untuk murid tahun terakhir. Meski baru akan dilaksanakan seminggu yang akan datang, wacananya sudah di sebarkan sekarang guna menyuruh para siswa yang akan berpartisipasi untuk mempersiapkan banyak hal dari jauh-jauh hari.

Di tengah kericuhan dan keributan para siswi perempuan yang tak henti berbicara sebab mendadak bersemangat mempersiapkan kiranya barang bawaan apa saja yang akan mereka butuhkan nanti. Dari barisan paling belakang Arjuna memandangi Arin yang berada di bagian tengah barisan, gadis itu tampak tidak seheboh teman-temannya yang lain, ia bahkan hanya membalas dengan seadanya celotehan Gita dan yang lainnya.

Tumben? Pikir Arjuna, ia terheran-heran melihat Arin yang tampak murung. Sejak kejadian Arin yang menolak keras tawaran tebengan dari Arjuna, belum ada interaksi apa-apa lagi di antara keduanya. Baik Arin dan Arjuna sama-sama membuat jarak supaya sebisa mungkin tidak berpapasan, mengobrol, bahkan untuk sekedar saling melempar tatap saja sebisa mungkin mereka hindari. Arin menjauhi Arjuna, dan sebagai pemuda tahu diri pastinya Arjuna ikut sadar posisi. Bukan semata-mata karena ia sudah menyerah, Arjuna hanya tak ingin membuat Arin marah-marah seperti kemarin.

"Takut banget ilang kayaknya, sampe diliatin terus," suara berbisik dengan nada usil itu membuat Arjuna menoleh dan mendapati Huga memandangnya dengan jenaka, di belakangnya ada Jaka yang juga senyum-senyum geli.

"Waduh, siapa tuh?" Randu yang berbaris di depan Arjuna pun berlagak tak tahu.

Arjuna berdecak pelan, jengah dengan sifat temannya yang selalu mengolok-oloknya ketika ia kedapatan sedang memperhatikan Arin dari jauh. "Bacot!"

"Gimana, Jun, udah mulai kerasa belum nyeselnya?" Mendengar perkataan Randu, yang disindir langsung mengumpat keras. Jika tak ingat kalau sedang berada di dalam barisan mungkin sepatu Arjuna sudah melayang kuat mengenai kepala Randu.

Dibandingkan Huga dan Jaka yang agak sangsi dan menjaga perasaan Arjuna yang sedang patah hati berat, Randu memang menjadi yang paling berani dan blak-blakan mengatai Arjuna. Seakan-akan ia memang sudah menunggu saat ini sejak lama, mungkin karena sudah terlalu kesal dengan kebodohan Arjuna yang selalu menyia-nyiakan.

"Jangan gitu lah, Bro. Temen kita nih mau nyoba move-on." Jaka berlagak membela, padahal dari raut jenakanya semua orang bisa tahu kalau ia ikut-ikutan meladeni ejekan Randu.

Arjuna mencoba untuk tak peduli, tetap melanjutkan kegiatan memperhatikan Arin meskipun sudah diejek—kepalang malu. Ejekan berisik kawannya itu berhenti ketika Arjuna tiba-tiba bergumam, "Dia kenapa?"

Baik Huga, Jaka, ataupun Randu sontak menautkan alis heran. "Apanya?" Tanya Huga.

"Diem banget, tumben."

"Apaan sih? Ngomong yang jelas coba,"

"Gak jadi. Dah, gue cabut duluan." Lalu Arjuna kabur begitu saja dari barisan, tak mengindahkan panggilan berupa bisikan-bisikan kecil dari teman-temannya yang kebingungan—menanyakan Arjuna ingin pergi kemana. Laki-laki itu sama sekali terlihat tidak takut terkena masalah, padahal ia dan teman angkatannya masih belum dibubarkan.

****

Sekembalinya Arin ke kelas setelah tadi dijemur lebih dari setengah jam, ia langsung duduk dan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangannya di atas meja. Terlalu malas untuk melakukan hal lain, padahal sebentar lagi adalah jam istirahat kedua. Ia memilih untuk memejamkan matanya, mencoba untuk beristirahat sebentar sebab perutnya terasa sakit.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang