15

2.1K 126 7
                                    

2015, Arjuna-Arin umur 10 tahun.

Kala itu, tepatnya jam satu siang. Arin sekuat tenaga menahan rasa kantuknya meski berkali-kali kepalanya terlepas dari simpuhan kedua sikunya—posisi badannya tengkurap di atas kasur milik Arjuna, dengan kedua telapak tangannya yang ia posisikan senyaman mungkin untuk menahan dagunya. Gadis itu menyingkirkan helaian anak rambut yang terlepas dari kunciran yang mulai mengendur sebab sudah diikatkan sejak pagi oleh Ibu Arjuna.

Kasur bersprei gambar kartun Gravity Falls itu Arin pandangi dengan seksama, berharap dengan cara itu ia bisa menyingkirkan rasa kantuknya. Rupanya tidak mempan sebab sepersekian detik kemudian ia sudah kembali terpejam, bahkan sudah hampir masuk ke dalam alam mimpi jika saja suara Arjuna tidak masuk ke indera pendengarannya—mengacau runtutan mimpi yang baru saja hendak menyambut Arin dengan hangat.

"Arin, kalo seandainya—lah, Arin tidur?"

Arin cepat-cepat mengusap matanya dan mengubah posisi tengkurapnya menjadi duduk bersila, gadis kecil itu mengerjab pelan dan kembali memfokuskan diri membalas tatapan Arjuna yang memandanginya dengan alis bertaut. "Kenapa? Kamu ngomong apa tadi?"

Arjuna menggeleng dan kembali menunduk—melanjutkan pekerjaannya yang sempat tertunda. Siang ini ia mendadak jadi pelukis dadakan, saking niatnya Arjuna sampai membeli kanvas, kuas, dan cat minyak berisi 24 warna. Arin yang pada dasarnya selalu mengiringi Arjuna pun ikut andil dalam pembelian barang-barang tersebut, bahkan kini juga menyaksikan pengeksekusian alat melukis tadi.

"Kalo ngantuk tidur aja," gumam Arjuna pelan, tangannya kembali menari-nari di atas kanvas yang hampir terlihat dipenuhi oleh beragam warna.

"Enggak, udah enggak ngantuk lagi," Arin tidak sepenuhnya berbohong, rasa kantuknya memang mendadak menghilang karena sebenarnya suara Arjuna tadi membuatnya sangat terkejut.

"Arjuna sebenernya ngelukis buat siapa?" Tanya Arin penasaran, gambar pemandangan hamparan persawahan itu membuat Arin penasaran setengah mati. Ia bahkan baru tahu bahwa Arjuna punya hobi semacam ini, walaupun lukisannya bisa dikatakan masuk dalam katerogi sedikit asal-asalan dan berantakan.

"Buat Mama,"

"Mama? Emangnya ada apa? Mama ulang tahun?"

Lagi-lagi Arjuna menggeleng, tanpa menoleh ia kembali menjawab. "Besok Hari Ibu, aku mau kasih lukisan ini sebagai hadiah buat Mama."

Hening. Merasa ada yang aneh dengan keheningan yang menyelimuti, Arjuna pun mendongak dan mendapati Arin menatap nanar bantal guling milik Arjuna yang entah sejak kapan sudah ia taruh di pangkuannya. Gadis itu mendadak melamun, apapun yang sedang ia pikirkan—Arjuna yakin bahwa hal tersebut sangat mengganggunya, terlihat dari wajah piasnya juga binar matanya yang tak dapat Arjuna temukan meskipun berkali-kali ia mencoba mencarinya.

"Arjuna, terus aku gimana? Aku kasih apa buat Ibu? Ibu aku... gak ada." Arin berkata nanar, bahkan suaranya agak tercekat akibat menahan tangisnya agar tidak pecah.

"Aku kangen Ibu, aku juga mau kasih Ibu hadiah. Juna, aku—aku harus gimana?"

Arjuna geming, ia tidak tahu harus merespons bagaimana. Yang ia lakukan adalah beranjak berdiri dan menghampiri tubuh bergetar Arin yang mulai menangis tersedu. Ikut duduk di pinggiran kasur sembari menatap dalam Arin, kemudian yang laki-laki tergerak untuk menarik tubuh mungil itu masuk ke dalam dekapan hangatnya.

Mencoba menenangkan tanpa kata, hanya pergerakan tangannya yang naik turun mengelus punggung gadis itu saja yang mampu ia lakukan, berharap dengan cara seperti itu ia mampu membuat yang perempuan menjadi lebih tenang. "Aku izin peluk kamu, ya? Karena kata Mama, gak ada cara terampuh lain untuk menenangkan orang yang lagi nangis selain dengan cara ini."

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang