11

1.7K 119 9
                                    

"Aman?" Adalah pertanyaan pertama yang Arjuna ajukan ketika mendapati kedatangan Jaka dan Huga. Dua orang temannya itu membalas dengan anggukan tak lupa ada Huga yang bahkan memberi pose jempol dengan cengiran lebar.

"Aman, bro. Cuma nangis kejer sampe ketiduran sendiri akhirnya."

Arjuna membayangkan kira-kira bagaimana kacaunya penampilan gadis itu, menangis tersedu-sedu tentunya akan membuat mata bulat Arin menjadi bengkak dan sembab. "Tidur? Ditemenin Gita tapi kan?"

"Iya, nanti lo izinin kayak biasa aja. Kasian, kecapekan anaknya." Jawab Jaka.

Sudah biasa dan bukanlah hal yang aneh jika Arin tiba-tiba berhalangan masuk kelas dan malah mengurung diri untuk beristirahat di UKS. Para guru juga sudah terlalu hapal dan memaklumi, apalagi mengingat Ayah Arin yang juga tergabung dalam keanggotaan komite sekolah itu sudah menitipkan anaknya secara berulang pada guru-gueu di sekolah.

Arjuna menutup dan mengunci pintu lokernya setelah mengambil seragam batik sekolahnya yang akan ia kenakan untuk menggantikan seragam olahraganya ini. "Oke, thanks ya."

Setelah itu Arjuna berlalu dengan otaknya yang kembali berkecamuk memikirkan bagaimana keadaan Arin. Walaupun kedua temannya tadi sudah sedikit menjelaskan, tetap saja rasanya tidak puas jika ia belum memastikan sendiri. Arjuna terus-terusan berusaha sekuat tenaga untuk menahan dirinya dan bersikap seolah tidak peduli, takutnya kedatangannya hanya akan semakin membuat keadaan Arin memburuk. Arjuna tidak akan pernah bisa mengontrol emosinya jika sudah hadap-hadapan langsung dengan Arin yang menyebalkan.

Pemuda itu menghela napas panjang dan mengepal kuat jari-jarinya, tak peduli jika seragam yang ia pegang akan menjadi kusut sebab ikut teremas. Sayangnya sekuat apapun usaha yang ia kerahkan untuk menahan dirinya, langkah kaki panjangnya tiba-tiba berbalik arah seakan menghianati segala usaha kerasnya.

Dengan kaki panjang dan langkah besar itu Arjuna berlari menelusuri koridor sekolah yang sepi sebab jam pelajaran masih belum berganti. Sesampainya ia di depan ruangan dengan palang bertulisan Unit Kesehatan Sekolah, Arjuna segera mendorong pelan pintu kaca tersebut ke dalam dan mengintip melalui celah pintu—memastikan apakah benar gadisnya ada di dalam sana.

Mata elangnya bertatap-tatapan langsung dengan Gita yang melayangkan tatapan penuh kebencian seakan ingin membunuhnya. Arjuna melesak masuk dan mendekati brankar yang gordennya tertutup setengah itu—menutupi bagian brankar—dan hanya memperlihatkan eksistensi Gita yang duduk di kursi sebelah brankar.

"Mau apa lo? Gue gak ngizinin lo buat ketemu sama Arin ya, Jun. Gue pikir Jaka sama Huga udah ngasih tau lo, kan?" Sinis Gita.

"Lo balik ke kelas aja, biar gue yang jagain—"

"Gak bakal gue biarin lo deket-deket sama sahabat gue, sekalipun lo tunangannya atau apapun itu!" Bantah Gita cepat.

"Gita, gue rasa lo paham kan kenapa gue—"

Gita berdecak sebal dan kembali memotong kalimat Arjuna, "fine! Kali ini lo gue biarin. Sampe lo bikin sahabat gue sakir lagi, gue gak bakal percaya sama omong kosong lo lagi, Jun!" Gadis berponi itu beranjak dari duduknya namun seakan teringat sesuatu ia pun kembali menoleh pada Arjuna. "Gue perlu ngomong sama lo nanti."

Arjuna mengangguk dua kali, lalu sepeninggalan Gita ia bergerak menarik kursi yang tadinya Gita gunakan dan mendudukinya. Pemuda itu menatap dalam wajah tenang Arin yang sedang beristirahat, hal itu membuat tangannya refleks mengusap lembut puncak kepala Arin, lalu sesekali punggung tangannya menghapus jejak-jejak air mata di pipi putih Arin yang memerah.

"Maaf, ya? Maafin gue karena bisanya cuma bikin lo nangis doang." Gumamnya sangat pelan dengan suaranya yang tercekat tiba-tiba.

"Rin, gue udah janji sama bokap lo, sama orangtua gue, bahkan sama diri gue sendiri kalo gue bakal ngebahagiain lo. Tapi nyatanya gue cuma bisa bikin lo sedih." Arjuna tersenyum sumir kemudian beralih menggenggam erat tangan Arin yang terkulai lemas. "Bohong kalo gue bilang gue gak sayang sama lo. Karena sumpah demi Tuhan gue sayang banget sama lo, tapi gue ngerasa gak pantes buat lo, gue belum bisa jadi apa yang lo mau."

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang