06

1.5K 118 5
                                    

Hari ini Azeline bisa sedikit merasa lega sebab ia sama sekali tidak mendapatkan gangguan dari Danisa dan antek-anteknya. Terlebih ketika ia duduk sendirian di bagian pojok kantin—sedang menikmati siomay—seseorang tiba-tiba menyodorkannya sebotol air mineral dingin.

"Minum buat lo," si pemberi air mineral memperjelas, pemuda tampan yang ternyata Arjuna itu kemudian tanpa izin duduk di kursi kosong sebelahnya.

"M-makasih, Arjuna," kata Azeline sedikit terbata.

"Temen lo mana?"

Azeline sontak terbatuk dan secepat kilat meraih botol minum yang untungnya tadi sudah Arjuna bukakan segelnya. Ia menenggak setengah air di dalam botol tersebut, kemudian tersenyum canggung sekaligus malu. "Sorry, gimana tadi?"

"Lo gak pa-pa?" Alih-alih mengulangi pertanyaanya, Arjuna malah mengkhawatirkan keadaannya.

"Gak pa-pa kok, keselek doang," Azeline akhirnya menyadari bahwa ia dan Arjuna mendadak jadi pusat perhatian di kantin ini. Bisik-bisikan julid bahkan samar dapat ia dengar, kepalanya menunduk dengan perasaan takut yang membuncah.

Dalam hari Azeline memikirkan kira-kira alasan apa yang pas untuk ia katakan pada Arjuna agar bisa segera berpamitan. Di tengah kesibukan isi otaknya yang berkecamuh, suara gebrakan meja akibat sebuah nampan—berisi semangkuk bakso dan segelas penuh cairan berwarna putih—yang ditaruh dengan sangat tidak santai oleh pelakunya; Arin. Hal tersebut semakin membuat Azeline ketar-ketir.

Meskipun raut wajah primadona sekolah itu terlihat santai dan ramah seperti biasanya, tetap saja Azeline merasa takut jika Arin salah paham dan akan menghabisinya. Tentu saja ia tahu betul kalau pemuda yang ia taksir diam-diam itu sudah bertunangan dengan Arin, sekalipun Azeline tidak pernah kepikiran untuk merebut Arjuna dari Arin. Terlepas dari ia yang sadar diri, ia juga sangat paham sebesar apa rasa yang Arin miliki pada Arjuna.

"Gue gabung ya, tempat lain penuh," izinnya yang lebih terdengar seperti penyataan dibandingkan pertanyaan. Hal itu membuat Azeline mengangguk kikuk dengan Arjuna yang kemudian langsung berdecak sebal.

"Gak makan lo?" Tanya Arin setelah berhasil duduk dihadapan keduanya, pertanyaan tersebut ia ajukan pada Arjuna.

"Gak laper," jawab Arjuna sekenanya, ia memang tidak berniat memesan apapun di kantin. Niat awalnya ke kantin hanya agar bisa menyembunyikan diri dari Arin yang pasti akan mengganggunya tanpa henti jika menemukannya tak melakukan kegiatan apapun di kelas. Sialnya ia tetap saja dipertemukan dengan gadis cerewet yang tidak seperti biasanya mau jajan jajanan kantin.

"Lo gak niat nanya kenapa gue ke kantin sendirian?"

"Enggak," balas Arjuna cepat tanpa berpikir.

"Gita sibuk ngebucin sama temen lo, gue tebak bentar lagi jadian sih mereka." Seolah tidak memperdulikan jawaban ketidaktertarikan Arjuna akan pertanyaannya tadi, Arin dengan suka cita tetap menjelaskan semuanya seraya mencicipi kuah baksonya.

Arin menggelengkan kepalanya akibat merasa bahwa racikannya pada kuah bakso itu belum pas dan senikmat yang ia bayangkan. Pergerakannya yang ingin kembali menambahkan sambal terhenti akibat dihalangi oleh Arjuna yang menahan tangannya. "Udah cukup, gak usah ditambah lagi," larangnya.

Dengan wajah jumawa Arin mengagguk sambil sedikit misuh-misuh. Ia terlalu lapar untuk meladeni dan memperpanjang perdebatan dengan Arjuna, maka dari itu ia hanya menurut tanpa melayangkan protes sedikitpun.

"Wah, gak fokus nih Ibunya, padahal udah jelas tadi gue pesennya susu anget bukannya es susu." Arin kembali ngomel sendiri setelah menyeruput sedikit susu rasa vanilla yang ia pesan. "Ini mah namanya pembunuhan berencana." Sambungnya kemudian tergelak sendirian.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang