03

1.5K 123 7
                                    

Tempat tongkrongan—markas Georgopol mereka biasa menyebutnya, terinspirasi dari salah satu tempat di maps Erangel pada game online yang kerap kali mereka mainkan ketika tengah berkumpul. Hanya sebuah bangunan kecil tak bertuan yang jaraknya sekitar 5 kilometer dari sekolah. Bangunan ruko tua yang dulunya merupakan bekas toko sembako itu sudah lama terbengkalai dan menjadi tempat yang pas untuk Arjuna dan tiga temannya bersantai ria.

Disudut ruangan Jaka sibuk menggenjreng senar gitarnya dengan Randu yang bersedia menyumbangkan suara merdunya. Sedangkan Huga entah sejak kapan sudah tertidur pulas di atas sofa panjang tanpa merasa terganggu sedikitpun. Arjuna yang tadinya asik berkutat dengan puzzle besar punya adiknya Huga yang katanya sengaja Huga bawa ke sini karena adik kecilnya itu suka memasukkan potongan puzzle ke dalam mulutnya alih-alih menyusun kepingan tersebut menjadi gambar jajaran karakter Marvel.

"Jun, hp lo gue cabut ya? Gue mau nyolokin kipas angin, panas banget, cuy!" Huga tiba-tiba saja berseru dan memecahkan konsentrasi Arjuna, tak memperdulikan Huga yang sejak kapan sudah terjaga karena kepanasan, Arjuna hanya mengagguk tanpa peduli apakah baterai ponselnya sudah terisi penuh atau belum.

Setelah menaruhkan kepingan puzzle terakhir, Arjuna berseru bangga dalam hati. Ia berniat memfoto hasil pekerjaannya sedari tadi dan beranjak untuk meraih ponselnya yang tadinya mati lantaran kehabisan baterai. Sambil menunggu ponselnya menyala, Arjuna bersiul santai seraya merapikan lagi puzzle-puzzlenya. Alih-alih langsung membuka kamera seperti niatnya tadi, ia malah merasa terganggu dengan puluhan notifikasi yang ia dapatkan.

"Kenapa lagi sih?" Tanyanya sebal pada diri sendiri, tak urung ia tetap membuka pesan teks yang ia terima dari kontak yang ia namai dengan nama Arin.

Belum selesai ia membaca semua pesan yang Arin kirimkan, seakan teringat sesuatu Arjuna langsung beranjak dan merutuki dirinya yang bisa-bisanya lupa. Tanpa pamit ia berlalu begitu saja dari markas, sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan kebingungan tiga temannya yang merasa aneh dengan gelagat Arjuna.

"Woi, mau kemana lo?"

"Juna, anjing main cabut aja."

"Arin paling, gak ada yang lain."

"Susulin gak?"

"Gak usah, urusan penting banget kayaknya."

"Gengsinya gede, ngomongnya gak suka tapi paling gercep bertindak kalo ceweknya kenapa-napa."

****

Laju motor Arjuna berhenti dan langsung ia parkirkan asal di depan gerbang tempat pemakaman umum. Kaki panjangnya berjalan cepat menelusuri deretan makam, dari kejauhan ia melihat perawakan gadis yang sudah sangat ia hapal di luar kepala. Arin terlihat terduduk di samping makam Ibunya dengan kepala bersandar pada batu nisan, jejak air mata yang sudah mulai mengering terlihat dengan jelas.

Semakin dekat dengan Arin, jantung Arjuna berdetak kencang dan mendadak terserang panik bukan main kala ia melihat bahwa mata gadis itu tertutup dengan raut wajah tenang. Berbagai pikiran buruk berusaha Arjuna tepis dan ia menambah kecepatan langkahnya, tubuh tingginya langsung ia posisikan berjongkok tepat di samping Arin yang belum juga membuka matanya meski Arjuna sudah sekuat tenaga mengguncang tubuh lemas Arin.

"Arin! Arin, bangun!"

"Rin, please buka mata lo! Gak lucu, Rin, jangan bercanda!"

Ketika tubuh tak berdaya itu bergerak pelan dan mata sembabnya terbuka perlahan. Arjuna langsung terduduk dan menghembuskan napas lega, dalam hati ia mengucap ribuan syukur pada Tuhan.

"Juna..."

"Lo ngapain tidur di sini, bego?!" Bentak Arjuna keras.

"Ibu... gue kangen sama Ibu." Bisik Arin nyaris tak terdengar.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang