20

2.9K 150 6
                                    

"Jadi lo beneran gak pa-pa, Zel?" Pertanyaan itu sudah ditanyakan oleh Obit pada Azeline sekitar tujuh kali. Dari cerita menyedihkan yang ia dengarkan secara seksama sejak tadi, ia berusaha kembali memastikan bahwa sahabatnya baik-baik saja saat ini.

Perpustakaan sekolah memang menjadi tempat andalan Obit dan Azeline untuk bersembunyi, kali ini bukan untuk menyibukkan diri dengan buku di tangan masing-masing, melainkan untuk duduk di pojok perpustakaan dan bercerita. Meluapkan segala hal yang mengganjal di hati sebab ia sudah tidak sanggup lagi jika harus memendamnya seorang diri—Azeline membutuhkan teman untuk berbagi kesedihan.

"Kamu udah tau jawabannya, Obit." Azeline terkekeh—terdengar sedikit dipaksakan. "Bohong kalo aku bilang aku gak pa-pa. Aku sedih, bener-bener sedih. Tapi aku bakalan ngerasa jauh lebih sedih kalo sampe aku bersikap egois dan ngebiarin Arjuna tersesat dengan aku yang sebenernya cuma berperan sebagai figuran."

Matanya yang berbinar indah menerawang ke rak-rak perpustakaan yang berjajar. Menatap satu persatu buku yang terlihat tersusun rapih. "Udah cukup bagi aku untuk ngerampas sebentar rasa bahagia yang sebenernya milik Arin. Aku gak mau nerusin perasaan bahagia yang cuma semu ini. Arjuna cintanya sama Arin, fakta itu gak bakal berubah meskipun dia berulang kali bilang kalo dia juga suka sama aku." Azeline—dengan kelembutan hatinya—tersenyum tipis untuk menguatkan dirinya sendiri. Memantapkan hatinya agar tidak goyah, menekankan pada dirinya berkali-kali bahwa ia sudah melakukan sesuatu yang benar.

"Kenapa lo seyakin itu?" Tanya Obit.

"Senyumnya, matanya, gerak-geriknya, semuanya gak bisa bohong. Walaupun Arjuna bisa bohong pake kata-kata, tapi semua yang aku sebutin tadi gak akan bisa diajak kerjasama. Mereka semua berkhianat dan malah membeberkan perasaan sebenernya yang dia punya." Azeline menghela napas berat, agak berat jika harus menceritakan contoh nyata yang ia temukan selama dekat dengan Arjuna—tentang laki-laki yang ia cintai namun malah mencintai orang lain.

Tetapi sepertinya Azeline harus tetap bercerita, lagi-lagi supaya Obit dapat paham dan turut mendukung pilihannya untuk merelakan Arjuna begitu saja. "Waktu lagi sama aku, beberapa kali Arjuna langsung pergi gitu aja—tanpa pamit—karena dia dapet info kalo Arin lagi gak baik-baik aja. Entah itu karena Arin sakit, dalam bahaya, atau bahkan karena dia cemburu soalnya Arin lebih milih ngandalin cowok lain dibanding dia."

"Terlalu basic, Zel. Semua orang juga bakal ngelakuin hal yang sama kalo temennya dalam bahaya," Laki-laki berkacamata itu mencoba untuk menyangkal. Tak setuju dengan kesimpulan yang Azeline berikan.

Azel menggeleng pelan. "Gak cuma itu, Obit. Saking terbiasanya Arjuna dengan segala hal tentang Arin yang udah dia hapal di luar kepala, dia bahkan secara gak langsung suka memperlakukan aku seakan-akan aku ini Arin."

"Contohnya?"

"Awalnya aku gak tau sih, tapi karena kejadian waktu itu aku baru paham. Arin alergi kacang dan beberapa kali Arjuna selalu ngelarang aku mesen makanan yang ada kacangnya, bahkan sampe marah-marah karena aku gak mau nurut. Setelah dia sadar, dia bakal langsung bilang 'Maaf, Zel, gue gak sengaja. Gue lagi gak fokus'."

"Dia misahin biskuit dari krim oreo buat aku, padahal aku gak suka makan oreo tanpa krim—agak pahit. Bahkan gak cuma sekali dua kali Arjuna sering salah sebut nama, dia manggil aku Arin padahal jelas-jelas namaku Azel." Entah sejak kapan Azeline berubah menjadi sekuat ini. Ia sama sekali tidak menangis setelah menceritakan kembali kisah menyakitkan yang ia alami.

Obit sampai tak tega melihatnya, "Zel, nangis aja kalo lo mau nangis."

Namun gadis itu menggeleng, pelan namun tidak ragu. "Aku ikhlas, Obit. Aku gak nangis karena aku emang udah bener-bener ikhlas."

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang