Arjuna duduk bersebelahan dengan Azeline sejak beberapa jam yang lalu. Ia masih mengenakan seragam sekolahnya dan belum tergerak untuk pulang ke rumahnya meskipun hari sudah mulai gelap. Sejak tadi tak ada yang berniat untuk memecahkan keheningan, mereka sama-sama larut dalam lamunan sembari menatap danau berwarna keruh yang tampak tenang. Memandangi perahu bebek-bebekan yang bergerak sebab didayuh oleh beberapa pasang kekasih yang sedang di mabuk asmara.
"Kayaknya udah cukup," gumam Azeline akhirnya. Arjuna menoleh penasaran, meminta Azeline untuk melanjutkan perkataannya yang menggantung. "Kamu harus berhenti buat ngebohongin diri sendiri, Arjuna."
"Maksud lo apa?"
Senyum tipis terpatri di wajah tenang Azeline, ditepuknya pelan punggung tangan Arjuna—mencoba untuk menenangkan. "Cuma dengan sekali liat aja, semua orang bisa tau sebesar apa rasa yang kamu punya buat Arin. Mungkin Arin terlalu buta karena ngerasa kalo dia yang paling cinta mati sama kamu, padahal sebenernya enggak begitu. Kalian sama-sama jatuh cinta. Gak cuma aku yang sadar, ada juga temen-temen kamu, ada orangtua kamu—menurut kamu kenapa mereka ngejodohin kalian? Pastinya gak mungkin tanpa alasan, Juna."
"Mata dan perbuatan kamu gak bisa bohong, dan orangtua kamu jadi salah satu orang yang mengerti—sebesar apa rasa sayang yang kamu punya buat Arin. Makanya jalan kalian dipermudah, kalian dijodohin, karena mereka tau kalo gengsi kamu setinggi Monas." Azeline tertawa pelan, mengejek Arjuna meski jauh di dalam hatinya ia juga merasakan perih tak tertahankan.
"Coba bayangin, bakal segirang apa Arin kalo tau perasaan yang dia punya ternyata gak bertepuk sebelah tangan. "
"Azel, gue juga sayang sama lo," Arjuna masih mencoba untuk keras kepala. Memancing Azeline untuk menggeleng cepat dengan wajah tak setuju.
"Enggak, kamu gak sayang sama aku. Kalaupun emang kamu punya rasa sama aku, itu cuma satu banding sepuluh ribu dengan perasaan yang kamu punya buat Arin. Kamu cuma penasaran Arjuna, kamu ketemu aku di saat kamu lagi butuh pelampiasan untuk diri kamu yang lagi kacau waktu itu. Kamu lagi marah sama Arin, berlagak seakan kamu paling dirugikan karena terkekang dengan ikatan hubungan kalian, akhirnya kamu ketemu aku yang kebetulan emang naksir sama kamu. Kamu sengaja ngeladenin aku supaya Arin sakit hati dan berujung benci sama kamu."
"Azel, gue—"
"Kamu ngerasa gak pantes ya buat Arin sampe bertindak sejahat ini? Sadar gak kalo kamu gak cuma nyakitin perasaan Arin? Kamu juga sama terlukanya, Arjuna. Aku bisa bayangin sehancur apa perasaan kamu tiap liat orang yang kita sayang terpaksa kita jahatin cuma karena mengedepankan ego." Potong Azeline cepat, tidak berniat mendengarkan alasan apapun dari mulut Arjuna.
"Kok bisa kamu nyakitin seseorang yang setiap harinya selalu ngasih hal terbaik buat kamu? Kamu harus belajar menerima, kalau ego kamu itu gak penting dalam hal jatuh cinta. Ya, namanya jatuh... artinya kamu harus bisa terima fakta kalo kamu emang udah jatuh buat dia. Jangan pernah biarin gengsi jadi penghalang hubungan kalian." Azeline menggenggam erat tangan Arjuna, menyalurkan energi supaya yang laki-laki tetap kuat. "Kamu pantas, bahkan lebih dari pantas buat Arin. Jangan pernah berpikir kalo kamu itu pengecut, karena kamu masih bisa memperbaiki semuanya. Sebelum terlambat, ayo jelasin semuanya ke Arin."
Sore menjelang malam itu, Arjuna kembali diyakinkan oleh seseorang yang tanpa sadar juga sudah ia torehkan luka di hatinya. Perempuan luar biasa yang bisa membuatnya kuat di saat ia sendiri merasa jatuh sejatuh-jatuhnya. Terhempas begitu keras dari ketinggian yang bahkan tak terhitung setinggi apa, namun bisa tetap tersenyum tulus karena berhasil membuat cinta pertamanya kembali pada orang terkasihnya yang memang sudah seharusnya. Juga sepantasnya.
****
"Kalo butuh apa-apa, langsung panggil Bibi aja ya, Neng." Adalah kalimat terakhir yang Bi Lusi ucapkan sebelum benar-benar keluar dari kamar Arin, meninggalkannya sendirian supaya bisa kembali beristirahat. Pasalnya Arin baru saja kembali dari rumah sakit beberapa waktu lalu dengan dijemput oleh supirnya. Perihal Arjuna, entahlah ia tidak terlalu tahu kemana laki-laki itu pergi. Yang pasti Arjuna sudah tak terlihat batang hidungnya setelah berdebatan singkat di rumah sakit tadi. Tanpa ia tahu bahwa sebenarnya Arin sangat mengharapkan kehadirannya, singkatnya; Arin membutuhkan Arjuna.
KAMU SEDANG MEMBACA
One in Ten Thousand || Na Jaemin
Teen Fiction"Gue suka sama Azeline, bukan sama lo." "Seriously, Arjuna? Gue tunangan lo!" "Stop bilang kalo gue tunangan lo! Gue udah muak sama fakta itu, gue capek harus ngimbangin sikap sok princess lo yang makin ke sini makin bikin gue jijik tau gak? Lo kalo...