13

1.7K 112 6
                                    

Terik matahari pagi membakar kulit putih wajah cantik Auristella Arin, ia sengaja mendongakkan wajahnya supaya sinar matahari tersebut mengenai semua sisi wajahnya. Mata bulatnya terpejam dengan kening yang terlihat sedikit mengernyit akibat merasa silau. Di atas kursi taman kota itu ia duduk sendirian, sebenarnya tidak benar-benar sendirian sebab ia datang ke tempat ini bersama dengan Arjuna.

Hanya saja laki-laki itu sedang sibuk jogging mengelilingi taman kota tersebut, mungkin terhitung sudah tujuh kali ia lewat di depan Arin yang setia menunggunya. Arjuna memang rutin melakukan lari pagi di akhir pekan, kalau soal Arin tidak usah ditanya lagi, ia bisa berada di sini tentunya karena hasil rengekannya yang membuat Arjuna tidak tahan dan akhirnya terpaksa mengiyakan.

Gadis cantik dengan rambut ponytail itu membuka matanya lalu bersenandung pelan. Kala netranya kembali menangkap sosok Arjuna yang kini berjalan pelan ke arahnya sambil menenteng sebuah plastik bening yang dari sini dapat ia lihat dengan jelas apa isinya—minuman botolan—gadis itu seketika menerbitkan senyum yang mampu memikat siapapun yang melihatnya.

Sesampainya dihadapannya, Arjuna langsung menyodorkan sebotol air mineral tidak dingin yang segel dan tutup botolnya sudah ia bukakan terlebih dahulu. "Harusnya belinya yang ada rasanya," protes Arin namun tak urung tetap menerimanya.

"Banyak mau," desis Arjuna pelan, kemudian ia mendaratkan bokongnya untuk duduk di spot kosong sebelah Arin. Ia turut menengak minumannya hingga tersisa setengah botol, peluh yang mengalir di dahinya ia seka menggunakan lengannya yang terbalut jaket parasut lengan panjang yang sebenarnya tidak bisa menyerap keringatnya itu.

"Arjuna keren!" Puji Arin sambil memamerkan kedua jempolnya pada Arjuna, benar-benar mengapresiasi rasa lelah cowok itu meskipun sebenarnya tidak perlu. Toh Arjuna berolahraga juga untuk kebugaran tubuhnya sendiri.

Tadinya, gadis yang nampak duduk manis seorang diri ini juga ikut berlari kecil mengiringi Arjuna. Hanya saja ia merasa sangat jauh tertinggal sebab langkahnya terlalu pelan dan kecil-kecil, tidak sanggup untuk mengimbangi langkah Arjuna yang terlampau besar. Arin memutuskan untuk menyerah dan hanya mengawasi Arjuna saja sebab ia juga sudah mulai merasa kelelahan jika terus memaksakan diri mengejar Arjuna.

Ketika sudut mata Arjuna menangkap adanya gerakan dari Arin yang mengikis jarak di antara mereka, otaknya langsung memberikan sinyal bahaya. Refleksnya sangat bagus lantaran ia segera mundur dan berkata ketus, "mau apa lo? Gue keringetan gak usah deket-deket, bau."

"Yah, padahal mau senderan," dengan berat hati Arin kembali memundurkan posisi duduknya, bibir merah mudanya tampak menggemaskan sebab ia majukan beberapa senti.

"Senderan sana sama sandaran kursi," celetuk Arjuna.

"Gak romantis banget sih jadi orang! Rese!"

"Gue keringetan, Arin. Pusing gue kalo harus denger lo ngomel-ngomel karena gue bau keringet." Siapapun tahu bahwa itu hanyalah alasan Arjuna saja. Arin yang terdeteksi bucin akut mana pernah protes akan hal semacam itu.

"Kalo gak lagi keringetan juga pala gue tetep ditoyor kalo nyender sama lo,"

"Gue gak suka ditempelin, risih."

"Alasan banget, giliran sama Azel juga gak gitu," sindir Arin.

"Gak usah bawa-bawa Azel," Arjuna memperingati.

"Ya, makanya lo jangan gak adil gitu dong. Gini-gini juga gue tunangan lo, ya! Jangan karena gue biarin lo deket sama cewek lain, lo jadi gak nganggap gue lagi."

Arjuna menghela napas berat, seberat hari-harinya yang harus selalu berdebat dengan Arin. Ia tidak akan pernah menang, sedangkan gadis itu tidak akan pernah puas dan selalu mencari-cari kesalahan yang sebenarnya sama sekali tidak penting. Itulah alasan kenapa Arjuna sering kali terpaksa melontarkan kalimat kejam untuk membungkam mulut Arin yang tak pernah lelah mengoceh.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang