05

1.7K 137 4
                                    

Aroma sampah bekas makanan dan air comberan bercampur menjadi satu menusuk masuk ke indera penciuman Azeline. Tanpa tahu apa salahnya, tiba-tiba saja ia ditarik paksa menuju rooftop sekolah dan dilempari dengan itu semua oleh Danisa serta dua temannya—Tantri dan Flora.

"Sialan lo! Sengaja kan lo bikin gue kena masalah?!" Teriak Danisa sekali lagi.

Azeline hanya bisa memejamkan matanya lantaran terkejut dengan teriakan menggelegar itu. Bahkan tubuhnya yang terduduk itu sama sekali tidak merasakan sakit lagi kala Tantri menendangnya dengan kaki yang dibalut sepatu bersol keras. Azeline sudah cukup kebal dan terbiasa.

"Aku udah ngerjain tugas kalian, apalagi sekarang?" Azeline akhirnya berhasil mengeluarkan suaranya meski terdengar sangat pelan.

"Apalagi kata lo?! Sadar tolol! Gue dipanggil sama Bu Endah karena format makalah yang lo bikin itu gak sesuai sama yang disuruh."

"Maaf, tapi aku udah ngerjain semuanya sesuai dengan bahan yang kamu kasih, Danisa." Azeline mencoba untuk membela diri, tugas yang dikerjakan adalah tugas khusus yang berikan pada Danisa karena ia ketahuan tidur di kelas saat jam pelajaran Bu Endah.

Azeline yang pada dasarnya siswi pintar menyedihkan yang selalu dimanfaatkan dan disuruh-suruh itu tentu saja selalu menjadi korban perundungan seperti ini—khususnya oleh Danisa dan kawan-kawannya. Ia tak bisa banyak berkutik sebab terlalu takut berurusan dengan orang-orang kaya yang selalu merasa memiliki kuasa lebih.

"Oh, lo nyalahin gue?" Azeline sontak menggeleng kuat dengan raut wajah ketakutan sebab Danisa benar-benar terlihat dua kali lipat lebih menyeramkan. Habis sudah ia hari ini, Azeline hanya bisa pasrah dan kembali memejamkan matanya saat tiga sekawan itu kembali menghujamnya dengan banyak cacian juga tamparan keras.

Tanpa bisa melaporkan perundungan ini kepada siapapun sebab diancam akan diperlakukan lebih parah lagi jika berani melapor atau melawan sedikitpun, murid-murid lainnya juga tampak tak peduli dan tak tertarik untuk ikut campur. Semuanya seolah menutup mata dan mewajarkan hal seperti ini, tak peduli dengan separah apa luka yang mereka torehkan untuknya. Bahkan sama sekali tak peduli jika mungkin Azeline ditemukan sudah tidak bernyawa lagi akibat siksaan semacam ini.

****

"Juna, jangan main sama Edo. Tadi dia ngatain aku gak punya Ibu." Kala itu Arin kecil berusia sepuluh tahun menarik erat tangan Arjuna, seperti tak rela bila tetangga sekaligus sahabatnya dekat-dekat dengan anak nakal macam Edo yang sudah tega menyakiti hatinya.

Belum sempat Arjuna menjawab, Edo dan kawan-kawan sudah lebih dulu menyelak. "Yah, Arjuna main sama anak yang Ibunya sudah meninggal. Awas nanti dihantui."

Rasanya Arjuna ingin marah namun tarikan pada tangannya semakin dieratkan oleh Arin. Bahkan dari tatapannya, Arin memohon pada Arjuna agar tidak ditingalkan.

"Ayolah, Arjuna. Main sama kami aja, masa cowok mainnya sama cewek? Kamu banci ya? Atau jangan-jangan kamu pacaran sama Arin?" Tawa renyah rombongan itu benar-benar terdengar mengejek dan menyebalkan. Arjuna merasa terhina.

"Cieee, Arjuna pacaran sama Arin!"

"Ih, mereka pegangan tangan HAHAHAHA."

Refleks Arjuna langsung menghempaskan tangan Arin yang tadinya memegang erat tangannya, dengan tega ia bahkan mendorong kuat tubuh Arin hingga jatuh terjerembap di tanah. "Awas, aku gak suka sama kamu... Woi, aku gak pacaran sama Arin!"

Mimpi itu membangunkan Arin dari tidur pulasnya, kepalanya pening hingga ia terpaksa kembali memejamkan matanya untuk membiasakan diri dengan cahaya yang masuk ke indera penglihatannya. Setelah menghabiskan setengah sarapan dan meneguk berbagai macam obat-obatan tadi Arin langsung kembali beristirahat lantaran ia merasa benar-benar lemas. Mama Arjuna yang tadinya berniat ingin menghabiskan waktu seharian bersama Arin pun mengurungkan niatnya dan membiarkan gadis cantik itu kembali tidur.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang