19

2.6K 141 5
                                    

"Hey, jagoan, you okay?" Arjuna sama sekali tidak menoleh pada Mamanya yang berdiri mengintip dari celah pintu kamarnya yang sedikit terbuka, saking sibuknya ia bermain PS sendirian—sampai tak sempat atau memang sengaja tidak mengganti seragam sekolahnya—meskipun jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lebih lima menit. Raut wajahnya mengeras, namun ketika menatap matanya sekilas saja, kita bisa ikut merasakan kehampaan dan kekosongan di dalam sana.

"Kenapa masih belum mandi? Kamu gak bakalan bisa nyenyak tidur nanti kalo seragamnya belum diganti," Mama berjalan masuk—menghampirinya—ikut duduk di atas karpet bludru warna hitam yang ada di kamarnya, menepuk-nepuk pelan punggung tangannya yang menggenggam stik PS.

Dari gerak-gerik Mama, Arjuna yakin kalau Mama sudah tahu soal ini—Arin yang memutuskan pertunangan dan mengembalikan cincinnya. "Mama udah tau?" Tanya Arjuna, tanpa menoleh sebab ia sibuk memandangi layar televisi yang menampilkan pilihan karakter gamenya.

"Ayahnya Arin nelpon Papa tadi, bilang kalo anaknya nangis-nangis minta supaya pertunangannya gak dilanjutin," mendengar itu, Arjuna tersenyum sumir. Kembali merasa gagal dan tidak pantas.

"Mama bisa bantu kamu, Nak, kalo seandainya kamu ngerasa berat buat setuju dengan keputusan Arin. Biar nanti Mama yang coba ngomong berdua sama Arin," Mama menawarkan bantuan, sayangnya langsung ditolak oleh Arjuna dengan cara menggeleng beberapa kali.

"Gak perlu, Ma. Arjuna don't deserve her. Kalaupun memang ada yang harus diperbaiki, biarin Arjuna yang berjuang sendiri." Balas Arjuna, terdengar lirih dan terlihat sangat menyesali semua perbuatannya kemarin.

****

Sejak dulu Arjuna adalah orang yang tidak pandai dalam berkata-kata, sekalinya berbicara ia hanya mampu mencetuskan kalimat keji yang akan menyakiti hati siapapun yang mendengarnya—meskipun kalimatnya hanya sesingkat 'lo nyusahin', 'lo gak guna', atau 'lo mati aja'.

Dibalik semua kelakuannya yang sama sekali tak patut diacungi jempol, ia sebenarnya adalah pengamat yang cerdik, terlebih untuk seorang gadis cantik bernama Auristella Arin. Meski belum bisa menjadi pendengar yang baik sebab egonya tak pernah sudi untuk mempersilahkan gadis itu berkeluh kesah, tetapi diam-diam ia selalu mengirimkan Gita untuk menemani Arin ketika gadis itu sedang membutuhkan seseorang untuk dijadikan tempat bersandar.

"Kayak biasa, Git. Temenin Arin, jangan lupa dipeluk juga kalo dia nangis."

"Kenapa gak elo aja, sih? Arin tuh maunya elo yang merhatiin dia."

"Jangan gue. Gue gak bisa, gak bakal becus."

Kiranya begitu isi percakapan yang kerap kali terjadi antara Arjuna dan Gita—tanpa sepengetahuan Arin tentunya. Walau tidak pernah bisa memberikan pundaknya sendiri untuk Arin bersandar secara langsung ketika ia sedang menangis, Arjuna akan tetap menjadi garda terdepan ketika ada yang menyakiti Arin. Diam-diam dia menghajar habis-habisan rombongan laki-laki yang selalu menggoda atau mengolok-olok Arin, memberi peringatan dengan kalimat menohok kepada para siswi yang tak menyukai Arin, rela berdebat dengan Danisa si titisan nenek lampir sebab ia sudah dengan lancang menyakiti gadis kesayangannya.

Arjuna melakukan banyak hal untuk Arin. Ketika gadis itu sakit, maka hanya Arjuna yang rela berlarian bak orang kesetanan untuk segera memberikan pertolongan dan membawanya ke rumah sakit, menitipkan cream soup kesukaan Arin pada Bi Lusi tiap gadis itu susah disuruh makan padahal sedang sakit, rela menghabiskan waktu untuk duduk di balkon kamarnya agar bisa memastikan apakah Arin sudah selesai menumpahkan semua tangisannya di dalam kamar, bolak-balik mengecek keadaan Arin tiap sepuluh menit sekali ketika gadis itu sedang beristirahat sehabis penyakitnya kambuh, memberi edukasi khusus pada pedagang kantin sekolah tentang makanan atau minuman apa saja yang sekiranya tidak boleh dibeli oleh Arin, juga tiap harinya ia selalu diam-diam ikut menunggu bersama Arin di sekolah sampai supirnya menjemput.

One in Ten Thousand || Na JaeminTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang