32. Selamanya

6.2K 1.1K 198
                                    

⚠️Triger Warning: Mention of Mental Illness⚠️

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

⚠️Triger Warning: Mention of Mental Illness⚠️

Mohon bijak dalam berkomentar. Because your words may hurt survivors.


DEWA

Sabtu, 20 April 2019 pukul 18.15

Segala elemen di tempat ini menggaungkan kata meriah dengan berbagai bahasa. Mulai dari racikan daun dan bunga yang sedemikian elok ditata. Juntaian lampu kristal dari langit-langit yang berkelip jelita. Deret sajian memamerkan rupa, seolah berlomba minta dipilih dari tempatnya. Pelaminan warna putih dan emas jadi pusat semesta. Gema alunan musik berpencar ke seluruh sudut nuansa, santun menyusuri gendang telinga. Lengkung bibir pihak yang berbahagia bertebaran di mana-mana. Aku di sini, di acara pernikahan Daniel dan Ista.

Sementara bibirku kaku dengan senyum yang dipaksa. Mengeja semarak ini dengan terbata-bata. Seluruh unsur di sini tampak abu-abu di mata.  Daun dan bunga tampil nir warna. Gemerlap lampu megah tampak biasa saja. Tidak ada satu jamuanpun yang memantik selera. Pelaminan yang jadi sentral terlihat pudar kilaunya. Bahkan musik yang anggun terdengar seperti kacau nada. Tiada sekelebat suka cita yang mampu berbaur dengan kelabu dalam dada. Tubuhku di sini, tapi jiwaku hinggap entah di mana. 

Sudah dua minggu, wadah spherocylinder yang selalu aku bawa kemana-mana tandas isinya. Tidak ada Depakote ER 500 mg  yang selalu bergemeletuk di saku. Tidak ada kapsul kuning berisi bubuk Haloperidol 1.5 mg dan THF 0.75 yang berebut tempat dengan tablet abu-abu. Alarm yang bunyi setiap dua belas jam sekali hanya jadi bunyi selewat di telinga yang kupadamkan begitu saja. 

Obatku habis. Lantas, absennya zat antikonvulsan serta antipsikotik dari aliran darahku telah mengacaukan semesta neurotransmitter di kepala. Secara gradual, dunia jadi pudar warna. Gairah yang semula deras dalam darah kini menguap entah. Rasa bahagia menyenlundup keluar dari lubang hidung bersamaan setiap dihembuskannya karbon dioksida. Energiku terhisap habis oleh setiap gestur yang aku perbuat dan tidak juga ribuan kalori yang sanggup mengisi dayaku kembali.

Seharusnya, aku berkunjung ke psikiater dan menyegarkan batinku kembali dengan sesi konseling. Sepantasnya, aku seret tubuhku menuju instalasi farmasi dan menebus resep obat. Namun, kesibukan menenggelamkanku. Dan, sebelum aku menyadari bahwa aku terlalu terdistraksi oleh ini itu, kudapati kakiku kembali terjerembab dalam lubang yang sama. Sebuah ruang yang tidak asing, di mana sedih menjadi kawan satu-satunya.

Setelah berbulan-bulan bangun tidur tanpa merasakan apa-apa, kini aku tergelincir pada masa merana. Saat aku tidak punya tenaga, diserang segerombol gulana, kehabisan stok asa, dan rasanya ingin menjadi sirna.

Sebagai penderita bipolar disorder, hari-hari seperti ini biasanya akan berlalu di atas kasur saja. Aku diam, sementara batinku riuh redam. Kakiku tidak melangkah kemana-mana, tanganku tidak bergerak apa-apa. Fase ini hanya tentang bernapas di antara membuka dan memejam mata. Namun, hari ini tidak. Aku sudah berjanji dengan Ody dan tidak mungkin membatalkannya.

Closing Closure ✔️ | ODYSSEY vol. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang