34. Tiada

5.7K 1.1K 211
                                    

DEWA

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

DEWA

Minggu, 21 April 2019 pukul 18.40

Mataku kosong. Atensiku yang longgar kupaksa tambatkan pada sebuah tengkorak yang berbaring di atas kasur berantakan. Tangan yang tulang belulang itu tengah menyeka mata. Di sekitarnya, banyak foto-foto lusuh, serta barang acak bertebaran.

Berderet sebuah penjelasan yang dibingkai plakat putih. Instalasi seni ini adalah simbolisasi gangguan mental Prolonged Grief Disorder--atau kesedihan jangka panjang yang dipicu kematian orang tersayang. Biasanya, penderita mengalami gejala kesedihan yang melumpuhkan bahkan sampai tidak mampu menjalani aktivitas paling dasar sekalipun. PGD juga memiliki banyak komplikasi terhadap kondisi fisik, psikis dan sosial. 

Suara gemeratak gigi mampir di telinga, memancing kepala untuk memamerkan ingatan lama. Ini tanggal 21 April. Pada 21 April puluhan tahun yang lalu, aku pernah setidakberdaya sebiji dadu yang dikocok di dalam tangan. Aku ingat bagaimana tubuhku dan keluargaku terpental-pental di dalam mobil dan hanya aku yang berhasil keluar dengan luka minor. Kembaranku yang  duduk di kursi tengah belakang--terpelanting ke dasbor depan dan meninggal saat itu juga. Kedua kakakku yang membenciku karena aku dianggap mencabut nyawa ibu--juga tewas di tempat. Ayah dan ibu tiriku koma, lalu meninggal dunia tiga hari kemudian.

Dari keempat anggota keluargaku, aku paling sedih ditinggal Orion Devananda---kembaranku. Kami yang bagai dua kutub berbeda. Aku yang bandel dan dia yang banyak disuka. Namun, aku dan dia tidak terpisahkan. Menyaksikan ia bersimbah darah dan meregang nyawa di depan mata, menjerumuskanku dalam kesedihan yang begitu lama. Aku masih berumur lima tahun dan berbulan-bulan aku enggan sekolah maupun bermain sama sekali. Yang kulakukan hanya menangis di kamar sendiri.

"Oy, anaknya Yudhis, tuh!" Marcell mencolek bahu, membuat gelembung konsentrasiku yang tipis pecah sudah.

Aku menoleh, menambat mata pada kepala bocah menyembul dari bahu temanku. Laki-laki, usianya belum genap satu tahun. Buku jariku ditempelkan di pipi kiri sang anak, lalu kuguncang-guncangkan---seperti yang selalu kulakukan pada bayi-bayi yang kutolong persalinannya. Ia tersenyum lebar, dengan liur menetes-netes. Aku balas tersenyum.

"Ciluk ...." Marcell menutup wajah dengan telapak tangan, lalu membukanya seperti tirai. "Baaa!"

"HUUUAAAA!" Tangis Danis---anak Yudhis, membahana.

Bukan hal yang aneh jika anak kecil yang masih suci dari dosa itu takut dengan Marcell. Muka Marcell memang mirip makanan yang baru setengah dikunyah.

"Lah, kok jadi nangis anak gue. Elo sih ya!" hardik Yudhis kesal. Kerepotan, pria beralis tebal itu berusaha menyurutkan jeritan si bocah. Ia menepi, menjauhi tatap-tatap tidak nyaman dari pengunjung pameran.

"Coba sini, Dhis, gue yang gendong," usul Agi kalem. Tanpa berpikir dua kali, Yudhis menyerahkan anak pertamanya ke dekapan Agi. Tak menunggu lama, tangis bayi itu berhenti.

Closing Closure ✔️ | ODYSSEY vol. 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang