PELARIAN YANG MELIBATKAN PERASAAN

590 48 0
                                    

Sebenarnya bukan jawaban itu yang diharapkan kiai. Beliau berharap Salwa berkata kalau dia tidak akan pergi kemana pun dan akan menikah dengan siapapun, kecuali pilihan Abinya.

"Sebenarnya kalau boleh meminta, Abi tidak ingin kamu pergi jauh-jauh setelah menikah nanti."

"Maksud Abi, siapapun yang menjadi jodoh Salwa, maka dia harus mau tinggal di pesantren?" tanya Salwa sedikit ragu, karena dia berpikir bukan itu maksud Abinya.

Kiai Rozak tersenyum tipis, lalu duduk memperhatikan putrinya yang cekatan meracik makanan.

"Bukan itu yang Abi maksud, Nduk."

Salwa yang sedang dalam posisi membelakangi Abinya, sejenak menghentikan aktivitasnya. Hatinya berdebar kencang menanti kalimat Kiai selanjutnya. Bagaimana kalau Abinya ingin menyampaikan bahwasanya beliau telah menyiapkan jodoh untuknya.

Namun hingga beberapa saat, sang Kiai tidak terdengar melanjutkan kalimatnya. Penasaran Salwa menoleh ke belakang dan tidak mendapati siapapun di sana.

Sebelah tangannya terangkat lalu mengusap dada sambil menghela dan membuang nafas lega. Saat ini Salwa sangat sensitif untuk membahas pernikahan karena beberapa kali Abinya menyerempet masalah itu tapi seperti yang tidak mengerti perasaannya.

***

Selepas makan malam dan shalat isya berjamaah di ruang tengah, kiai berpamitan untuk istirahat, dan seperti biasa Salwa memijit kaki Abinya.

"Nduk .... "

"Iya, Bi."

"Apa kamu sudah kepikiran untuk menikah? Abimu ini kan sudah tua, sudah waktunya beristirahat. Abi ingin ada yang membantu Abi mengurus pesantren."

"Soal itu, Salwa .... Salwa .... " Kalimat Salwa tidak berlanjut. Dia ragu untuk menyampaikan apa yang ada di hatinya.

"Abi sudah ada calon untukmu. Dia soleh, berilmu tinggi dan in sha Allah bisa menjadi imam yang baik buatmu dan bisa membantu Abi mengurus pesantren," ucap Abi seraya menatap lekat pada putrinya.

Deg!

Salwa terdiam sambil terus memijit kaki Abinya. Pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang siapa orang yang dimaksud oleh Kiai Rozak.

"Jadi Abi tidak khawatir akan kehilangan putri Abi satu-satunya ini. Selain itu masa depan pesantren juga akan jelas jika ditangan orang yang tepat."

"Maaf, Abi. Apakah Salwa boleh tahu orangnya, siapa yang Abi maksud?" Salwa memberanikan diri bertanya.

"Tentu saja, Nduk. Karena kamu yang akan menjalaninya jadi kamu berhak mengetahuinya lebih awal. Abi berencana menjodohkan kamu dengan santri kesayangan Abi." Sampai di situ Kiai Rozak menghentikan ucapannya, dia ingin tahu bagaimana reaksi anaknya.

Salwa hanya diam menunduk, menanti Abinya menyebut nama yang mungkin saja sama dengan dugaannya.

"Abi pikir, Ayash sangat memenuhi kriteria sebagai suamimu sekaligus menantu Abi," ucap Kiai Rozak sambil tersenyum.

Meskipun sudah menduga nama itu yang akan disebut oleh Abinya, Salwa tetap saja merasa terkejut. Nama Ayash sempat dia sebut di dalam do'a malamnya, dilangitkan disepertiga malam. Tapi kini telah berganti dan getaran halus di dadanya akan timbul ketika dia mengingat satu nama lain yang belakangan ini telah menggeser Ayash di kerajaan hatinya.

Elvis, lelaki bertato yang kadang kurang ajar telah merampas nyenyak tidurnya dan mengambil separuh waktu untuk terus berpikir tentang dirinya. Meski Salwa berkali menepisnya karena tahu tak seharusnya hatinya tertawan pada yang bukan mahramnya.

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang