Khitbah Kedua

699 40 3
                                    

Tak cukup hanya tersenyum sambil menggeleng pelan, Kiai Rozak bangkit lalu berjalan mendekati putrinya yang masih tersipu sambil mendekap ponselnya. Hingga tak menyadari tingkahnya ini sejak tadi diawasi oleh Abinya, bahkan Kiai Rozak sekarang sudah berada di samping tempat duduk Salwa.

"Yang habis menerima kabar rindu, bawaannya kok pengin senyum-senyum sendiri ya," ujar kiai seraya mengusap bahu gadis itu.

Terang saja gadis itu seketika menghentikan senyumnya dan terkejut menatap Abinya yang sudah ada disampingnya tanpa tahu sejak kapan.

"Eh, Abi, iya ... kok ... itu ... bukan, sejak kapan Abi ada di sini? Kok aku nggak tahu?" tanya Salwa gugup, pipinya makin merona karena malu ketahuan Abinya sedang tersenyum sendirian.

"Sejak tadi, Abi juga tahu kamu teleponan sama kakaknya si Elvis itu," ucap Kiai sambil tersenyum, lalu duduk di samping Puteri kesayangannya.

"Masa sih?" Salwa melirik Abinya sekilas lalu kembali menunduk lagi.

"Iya, itu karena kamu saking seriusnya ngobrol sama kakaknya Elvis. Jadi lupa kalau Abi nguping," kekeh pria tua yang tampak senang menggoda anak gadisnya.

"Abi sama saja ya, seneng banget menggoda," jawab anak gadisnya dengan wajah semakin dalam menunduk.

"Tidak apa-apa kok, Nduk. Abi mengerti, karena Abi juga pernah muda, sama seperti kalian. Waktu itu belum ada ponsel, jadi Abi tidak bisa saling bertanya kabar melalui ponsel. Hanya berani berkirim surat itu pun sembunyi-sembunyi karena takut ketahuan ustad." Mata Abi menerawang, teringat bagiamana dulu dia ketika menaruh hati pada Uminya Salwa.

"Sewaktu muda, Umi cantik ya, Bi?" tanya Salwa seraya menoleh ke arah Kiai Rozak.

"Tidak, Umi kamu itu tidak cantik Nduk. Tapi cantik sekali, persis kamu. Saat itu Abi tidak mau membuang waktu karena banyak yang suka dengan Umi kamu maka Abi segera memberanikan diri untuk mengkhitbah dia pada Ayahnya. Abi takut kalah langkah dengan saingan Abi meskipun tahu kalau Umi kamu sukanya sama Abi. Siapa tahu nanti Ayahnya malah menerima siapa pun orang pertama datang kepadanya."

"Dan Abi orang pertama yang datang kepada kakek?" tanya Salwa penasaran.

Kiai Rozak mengangguk lalu mengusap punggung Salwa penuh sayang.

"Umi bilang, dia sangat bersyukur karena orang yang dia sukai segera datang mengkhitbah dirinya, kalau tidak, bisa jadi kakekmu akan menerima lamaran orang lain."

Salwa tersenyum tipis mendengar kisah cinta kedua orang tuanya.

"Lain lagi ceritanya dengan kamu, Nduk. Kamu sukanya sama Elvis, lah kok yang datang mengkhitbah malah Ayash. Untung saja Abi tidak seperti orang tua jaman dulu yang bisa menentukan calon suami untuk anaknya tanpa bertanya dulu tentang perasaan anak gadisnya."

Salwa terdiam, dia menunggu apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Abinya.

"Abi jadi ragu, apakah Elvis beneran punya niat serius dengan kamu atau hanya sekedar main-main saja ya?"

Salwa melebarkan matanya mendengar Kiai Rozak berkata demikian. Dia merasa kalau Abinya sedang meminta kesungguhan Elvis untuk segera mengkhitbah dirinya.

"Supaya Abi bisa memutuskan setuju apa enggak kan harus ada prosesi dulu. Masa ditembung saja belum harus serta merta merestui, iya kan?" tanya Abinya sambil tersenyum lebar menatap anak gadisnya yang hari ini terlihat senantiasa tersipu.

Mendapat pernyataan seperti itu dari Abinya, Salwa merasa kalau Abinya sudah tak sabar ingin Elvis segera datang mengkhitbah dirinya. Tak terasa Salwa menatap Abinya sambil tersipu.

***

Sementara di kediaman Bramanta, pagi ini pria yang masih mengenakan piyama itu tengah berjemur di balkon kamarnya. Menikmati matahari pagi yang hangat bersama secangkir kopi dan ditemani seorang wanita muda dengan penampilan menggoda.

Hiruk pikuk kehidupan kota di pagi hari yang dapat terlihat jelas dari lantai atas istananya ini, tidak begitu menarik perhatian pria yang beranjak tua itu. Entah karena sudah bosan dengan pemandangan seperti itu, entah karena perhatiannya lebih terfokus pada wanita di sebelahnya yang sejak semalam dia undang ke sini.

Salah satu sifat yang membuat anak laki-lakinya geram itu adalah seringnya ketua mafia itu bergonta ganti teman wanita.

Bibir pria itu berdecak ketika kesenangannya pagi ini terusik dengan panggilan telepon dari anak buahnya. Dengan sedikit kesal tangannya beralih meraih ponsel yang terletak di dekat cangkir kopinya.

"Ada apa?"

"Ada berita baru, bos. Soal kiai itu."

"Katakan!" Bramanta bangkit dari duduknya, lalu berjalan menjauh dari wanita di sampingnya setelah sebelumnya memberi isyarat bahwa dia akan menerima telepon dulu sebelum melanjutkan aktivitas tak senonohnya.

"Kiai itu telah menyewa mafia lain untuk segera menemukan keponakannya. Bahkan dia berani membayar lebih mahal," lapor anak buahnya dari ujung telepon.

Seketika wajah Bramanta memerah, giginya beradu menimbulkan suara gemelutuk. Rahangnya mengeras serta pandangan matanya lurus menatap ke depan. Bukan pada langit pagi yang cerah, bukan juga pada bangunan-bangunan tinggi yang tak jauh dari tempatnya kini berdiri.

Bramanta teringat pada pria tua yang umurnya tidak berbeda jauh dengannya. Pria yang berkostum layaknya orang soleh, tapi hatinya tak ubah seorang penjahat sepertinya.

Bagaimana dulu kiai itu memohon padanya untuk bekerja sama mencelakai keluarga kakaknya, ayahnya Salwa. Dengan iming-iming kerja sama yang menggiurkan serta menjanjikan.

Tapi kenyataannya sekarang dia berpindah komitmen, seakan meragukan kemampuannya. Padahal dia hanya perlu sedikit bersabar lagi. Menemukan persembunyian gadis itu memang memerlukan strategi yang matang. Tidak bisa gegabah yang hanya akan mengacaukan rencananya.

"Awasi terus pergerakan Kiai itu! Dia benar-benar sudah kurang ajar!"

"Satu lagi bos, kiai itu menyewa detektif untuk melacak keberadaan keponakannya."

"Rupanya dia belum tahu kalau saat ini dia sedang berhadapan dengan siapa. Atau dia tidak faham seperti apa Bramanta itu?" Bramanta berteriak lalu menendang pot bunga yang berada di sudut balkon hingga pecah berantakan.

Setelah menutup sambungan telepon, pria itu berdiri berkacak pinggang sambil membuang nafas kasar. Dia teringat ucapan Elvis bahwa harus berhati-hati dengan Abine. Saudaranya sendiri saja dia khianati apalagi orang lain, tentu saja akan dengan sangat mudah untuk diperdaya.

***

Suasana pesantren siang ini tampak lengang setelah para santri masuk kelas pasca melaksanakan shalat dzuhur berjamaah di mesjid. Abine keluar mesjid belakangan sendirian ketika tiba-tiba dua orang tak dikenal dengan menggunakan penutup wajah mendekatinya membuat Abine terlihat kaget.

"Si-siapa kalian?" tanyanya gugup ketika kedua orang tersebut masing-masing meraih satu tangan Abine.

"Mau apa kalian?!" tanyanya lagi ketika merasa keduanya semakin erat mencengkeram pergelangan tangannya.

"To .... " Teriakan Abine terpotong ketika tiba-tiba salah satu dari orang tersebut membekap Abine dengan saputangan dan setelah itu pria yang berambisi menguasai pesantren ini tak ingat apa-apa lagi.

Tubuh tuanya mendadak lemas dan ia tak sadarkan diri ketika dua orang berbadan tegap itu membawanya dengan cepat ke dalam sebuah mobil yang terparkir di dekat pintu gerbang.

***

Abine mengerjap, begitu membuka mata yang pertama kali dia rasakan tubuhnya yang lemas kini seperti ditambah lagi dengan perasaan kaku. Matanya berkabut khas orang yang baru saja bangun tidur. Ketika dia bermaksud ingin mengucek matanya tapi merasa kesusahan karena tangannya berada di belakang tubuhnya.

Seketika dia mengingat sesuatu, apa yang terjadi setelah tadi dia keluar dari mesjid. Ada dua orang menghampirinya dan tiba-tiba dia tak ingat apa-apa lagi.

"Apakah aku diculik?" gumamnya.

Lalu matanya menyapu sekeliling untuk memastikan keadaan sekarang. Matanya begitu saja melebar setelah sadar dia tengah duduk terikat pada sebuah kursi. Sementara di samping kirinya terdapat sebuah kolam. Dan hampir saja dia berteriak melihat kolam itu berisi beberapa buaya yang nampak kelaparan.

*Bersambung

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang