KEINGINAN KIAI YANG MENGEJUTKAN

964 54 1
                                    

Rofiq sangat bahagia, bahwa ternyata adik yang dia pikir telah mati, kini berdiri di hadapannya. Meski ada pria lain di sisinya. Tapi tetap saja, hubungan keduanya harus diluruskan. Walau pun calon suami, tapi mereka belum halal untuk berduaan seperti sekarang.

Rofiq makin tak mengerti dengan jalan pikiran adiknya, mungkin kah gosip di pesantren itu benar, bahwa Salwa telah berubah karena jatuh cinta pada pria yang tak tepat.

"Eum, maaf Bang. Salwa terpaksa melakukan ini." Salwa seketika merasa bersalah. Hanya saja dia memilki alasan melakukan hal yang membuat Rofiq bertanya-tanya.

"Terpaksa?"

"Ya, karena Salwa memerlukan perlindungan?" sahutnya.

Rofiq mendesah. Jika ia memerlukan perlindungan, kenapa harus pada pemuda berpenampilan fuck boy di depannya?

Ia tahu bahwa tipikal seperti itu adalah pria yang suka mempermainkan hati wanita.

"Kenalkan saya Elvis." Tanpa ragu Elvis menyodorkan tangannya pada seseorang yang membuat Salwa tampak bahagia. Seseorang yang membuat Salwa lebih bersemangat dibanding hari sebelumnya. Melihat itu, Elvis merasa ikut senang.

Rofiq menyambut tangan pria itu dengan ragu.

"Saya janji akan menjaga dan membahagiakan Salwa." Elvis mengucap mantap.

Ucapan yang membuat Salwa seketika menunduk. Bercampur aduk perasaannya. Antara malu, senang dan tak percaya.

Elvis melirik sejenak pada gadis yang berusaha menyembunyikan perasaannya tersebut. Dia tersenyum melihat reaksi Salwa, tampaknya niat baiknya disambut oleh seseorang yang sudah mencuri hatinya tersebut.

Dahi Rofiq mengerut. "Mendidiknya ...?" Tatapan itu seperti sebuah paksaan bagi Elvis. Kakak Salwa hanya ragu, jika pemuda bertato seperti Elvis bisa mendidik Salwa. Ah, bukan ragu, tapi malah tak percaya.

"Ini sangat ...." Rofiq menggantung kata-katanya.

"Saya tahu Mas tidak yakin pada saya," ucapnya. "Tapi ini jalan terbaik yang saya dan Salwa miliki sekarang."

Rofiq masih bingung. Lalu menatap pada Salwa, meminta penjelasan lagi.

"Em, ya, Bang. Jadi ... selama ini dialah yang menjagaku." Salwa mengakui dengan malu-malu. Sekaras apa pun ia menyembunyikan perasaannya pada Elvis, tapi Rofiq bisa membaca hati sang adik dari kedua matanya.

"Oh." Rofiq tercenung. Melihat cinta di mata Salwa, lelaki itu mulai yakin bahwa apa yang Elvis katakan adalah benar. Apa haknya memisahkan dua orang yang saling mencintai? Terlebih mereka kini sudah merencanakan pernikahan.

"Jadi apa Abah tahu?" tanya Rofiq yang hatinya mulai luluh.

Mendengar pertanyaan itu, Salwa seketika menoleh pada Elvis yang rupanya juga tengah menatapnya. Ada tanya di tatapan kedua insan itu.

"Seperti apa yang Abang dengar di pesantren. Bahwa aku sudah mati, dan ... itu yang sampai di telinga abah." Salwa mengucap dengan nada sedih.

"Kalian tak memberitahu beliau?" Suara Rofiq menekan. Ia tak percaya Salwa bisa menyembunyikan ini dari abahnya. "Atau jangan-jangan, abah juga tak tahu soal hubungan kalian?"

Salwa mengangguk. "Kami tak mungkin memberitahu abah karena takut beliau syok, dan mengganggu kesehatan dan pemulihan beliau."

Rofiq mendesah. Merasa segalanya terasa rumit.

"Jadi ini alasan kalian tak segera menikah? Karena abah sebagai wali satu-satunya tidak tahu Salwa masih hidup?"

Elvis dan Salwa mengangguk, nyaris bersamaan.

"Itu kenapa, kami ingin Bang Rofiq jadi wali kami menikah. Dengan begitu, kita bisa lebih leluasa bekerja, merebut lagi pesantren." Salwa mengucap tanpa keraguan sedikit pun.

***

Ayash terbangun, ketika mendengar suara erangan dari arah ranjang. Suara seseorang yang tengah merasakan sakit. Atau ... sangat sakit. Entah.

Mata pemuda itu mengerjap untuk mendapat lebih banyak kesadaran. Setelah bangkit dan duduk, ia segera bergegas mendekat ke arah asal suara.

Tampak tubuh pasien di atas ranjang tak bergerak. "Apa Kiai sedang mimpi buruk?" gumamnya.

Ayash terkejut, kala mulut pria itu justru menyebut namanya.

"Yash."

"Enjeh, Yai." Pemuda itu merapatkan tubuh ke ranjang. Duduk paling dekat dengan posisi kepala sang kiai.

Mata Ayash melebar. Kiai itu meringis, tampak kesakitan.

"Yai, sakit? Biar saya panggil dokter sekarang," ucapnya panik.

"Ndak, Le. Diamlah di sini." Yai menarik napas dalam-dalam. Ketika Ayash melihat ke wajah tua itu secara intens, ia bisa menemukan ada hal yang aneh. Jejak air mata.

'Apa Kiai menangis? Saking sakit apa yang ia rasa?' Santri itu hanya bisa membatin.

Ayash ingin segera memanggil dokter, perawat atau siapa pun di luar sana yang bisa membantu mengatasi kondisi Kiai. Namun, pria sepuh itu memegang tangannya kuat, seolah tak ingin ia beranjak walau sebentar.

"Yash, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Kiai kemudian.

"Ya, Yai?" Dua alis Ayash terangkat. Kenapa pria itu menanyakan hal yang seharusnya sudah dipahami sebelumnya.

"Benarkah Salwa sudah mati?" Ada gurat keraguan yang di wajah tua Kiai.

"Ya?" Ayash tersentak. Kiai kembali meragukan keberadaan Salwa. Akan sulit baginya bicara hal yang sebenarnya terjadi.

"Firasatku kuat mengatakan anak-anakku masih hidup, Yash," lanjutnya sambil menahan sakit.

"Aku ingin melihat mereka. Mengatakan hal yang seharusnya mereka dengar."

Ayash terdiam. Bingung harus menjawab apa untuk menimpali pernyataan gurunya itu. Kalau jujur, bagaimana dia semakin ambruk? Tapi ... walau bagaimana, kiai perlu tahu apa yang terjadi. Karena memang beliau berhak untuk itu.

"Hemh." Kiai mendesah. Raut wajahnya kini berubah. Tak lagi menahan sakit seperti tadi. Hal itu membuat Ayash seketika merasa lega.

Pria itu berusaha bangkit, dengan cekatan, Ayash segera memegangi tubuh Kiai dan membantunya untuk duduk.

"Makasih Ayash," ucapnya.

"Eum, biar saya panggil dokter."

"Tak usah. Temani aku saja, Yash. Ada hal penting yang ingin aku katakan padamu." Pria itu tersenyum tipis. Menyembunyikan setiap luka yang rasakan.

Ayash meangguk dan tak ingin membantah yang membuat kecewa gurunya. Dia segera meraih gelas dan menumpah air putih agar diminum sang kiai.

"Terimakasih." Kiai meraih gelas. Meminumnya sedikit dan meletakkan kembali ke nakas.

"Karena tak mungkin bicara pada anak-anakku, mungkin aku akan merasa lega kalau mengatakan ini padamu." Kiai memulai obrolan serius yang membuat Ayash pun turut serius menyimak.

"Ya, Kiai?"

"Kalau saja Salwa masih hidup, aku akan memintanya menikah denganmu dan mengurus pesantren, Yash. Membantu Rofiq." Kiai mengucap tenang.

Ucapan dari pria yang memiliki suara berat tersebut, kali ini sungguh membuatnya tak bisa berkata-kata. Sebesar itu kepercayaan yang kiainya berikan pada Ayash. Menikahi Salwa? Seorang puteri mahkota? Ini seperti mimpi.

"Namun, aku sudah kehilangan mereka, dan Allah masih menjagamu. Barangkali, kamulah yang harus memperjuangkan sendiri."

Mata Ayash masih melebar taj percaya, sampai ia tak fokus apa yang kiai katakan setelah pernyataan yang akan mengangkatnya jadi menantu. Hingga Kiai terbatuk-batuk ... dan membuat pemuda itu terhenyak.

"Eum, Yai tak apa?" Ayash segera meraih tissue dan memberikan benda tersebut pada gurunya.

Pikiran Ayash melayang. 'Kalau begitu peluangku jauh lebih besar dibanding Elvis.'

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang