Part 13

2.6K 157 16
                                    

#Because_You_Kissed_Me!
(3)

#Salwa

"Hari ini jadi ke pesantren?" Elvis masih duduk mengunyah buah apel di meja makan.

Salwa yang tengah membereskan piring-piring dengan Ibu Elvis mendesah pelan. "Aku harus berpikir seribu kali, ketika berencana bergerak dengan pria mesum."

Elvis memicingkan mata kesal pada Salwa. Gadis itu benar-benar memuakkan sekarang. Dia tidak mengerti bagaimana situasi darurat yang terjadi. Bahkan rencana yang sudah disusun matang kini seolah jadi tak penting. Padahal, papinya dan kiai penjilat yang kini tengah merayakan kemenangan terus bergerak merongrong pergerakan masyarakat yang peduli pada nasib rakyat kecil.

"Yah, terserahlah. Aku tidak rugi." Elvis mengucap pelan, ia kembali menggigit apelnya dengan rakus.

Tangan Salwa terus bergerak ia hanya melirik sekilas pada pria menyebalkan yang suka berbuat semau sendiri itu. Lalu perhatiannya teralihkan ketika mami Elvis kesulitan dengan tumpukan piring di tangan. "Em, biar saya saja!" Gadis itu mengambil benda-benda di tangan wanita tua yang tersenyum karena bantuannya.

"Em, aku sudah selesai." Karina mengelap mulutnya. Ia lalu melihat jam di tangannya. "Wow, aku bisa telat." Wanita yang telah rapi dengan pakaian kerja itu bangkit dan meraih tasnya.
"Kalian berbaikanlah! Tidak baik bermusuhan padahal punya misi yang sama," sambungnya lagi sembari mencium tangan sang ibu dan mencium keningnya sebelum akhirnya pergi meninggalkan apartemen.

"Hem. Kenapa aku harus berbaikan? Ini masalahnya, bukan masalahku." Elvis sengaja mengeraskan suaranya dengan gaya santai, Salwa yang tengah mencuci piring di ruang sebelah mencebik kesal karenanya.

Mami Elvis yang melihat perseteruan itu hanya geleng-geleng. Namun, setidaknya ia bahagia, anak lelakinya itu terlihat lebih bersemangat dibanding dulu. Mungkinkah, di balik sikap 'juteknya' pada Salwa, sebenarnya Elvis telah jatuh cinta pada anak kiai itu?
.
.
.
"Jadi Yai sudah sadar? Kenapa baru sekarang kabarnya?" Abine bertanya pada Fadil, seorang ustaz yang menjadi orang kepercayaannya.

"Em, ada Ayash di sana, Bi."

"Anak itu lagi? Ada apa dengannya? Kenapa selalu ikut campur urusan kita?"

"Bi, anak buah mafia itu mengatakan, tempo hari seorang santri terlibat cekcok dengan mereka dan ditolong oleh Bos Muda mereka."

"Apa santri itu Ayash??" Abine bertanya antusias.

"Saya yakin dia orangnya."

"Bahlul itu anak!"

"Apa mungkin dia tau tentang rencana kita, dan bagaiamana jika Ayash sudah menceritakan semuanya pada Yai?"

"Aku tak yakin itu." Abine berusaha tenang. Ia menyeruput kopinya. "Kematian Salwa akan membuat Yai terpukul. Lagipula apa dia dukun bisa tau segala hal tentang kita?"

Tak ada jawaban dari ustaz Fadil. Mendengar penjelasan abine yang logis, membuatnya yakin segalanya akan baik-baik saja.

"Mi!" seru Abine pada istrinya yang ada di dapur. Tidak lama wanita itu datang dengan tergopoh.

"Enjeh, Bi?"

"Bersiaplah! Kita akan ke rumah sakit sekarang."

"Apa Abangku sudah sadar?" Pendar bahagia terlukis di wajah tua wanita itu.

"Hem. Betul." Abine mengangguk.

"Alhamdulillah!" seru sang istri gembira. Di saat yang sama sebuah panggilan masuk ke ponsel abine.

"Ya, Assalamualaikum." Pria itu menyapa seseorang yang memanggilnya dari ujung telepon. Namun, tak ada jawaban. Beberapa detik panggilan yang tersambung itu diputus sepihak oleh penelepon.

"Heh. Ada-ada saja yang iseng pada orang tua," gumamnya sembari menaruh ponsel di meja.

***

Di rumah sakit, kiai yang tengah minum  obat dengan dibantu Ayash menoleh begitu terdengar dering ponsel dari atas nakas.

"Biar saya angkat." Ayash buru-buru meletakkan gelas dan obat di tangan lalu cepat meraih benda pipih milik kiai.

Santri itu mengerutkan kening tatkala melihat nomor baru yang tak biasa dilihatnya di layar ponsel.
"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab seorang pria di ujung telepon.

"Maaf ini siapa?"

"Bisa bicara dengan Kiai Rozak?"

"Na'am, sebentar." Ayash menyerahkan ponsel pada gurunya.

"Assalamualaikum." Kiai Rozak mengucap salam pada sang penelepon. Namun, tak ada jawaban dan telepon terputus.
Orang tua tersebut menggedikkan bahu ke arah Ayash yang dipenuhi tanya. Bagaimana bisa ada orang iseng begitu, pada kiai pula?

***

Elvis terkejut dengan info yang disampaikan anak buahnya dari ujung telepon.
"Apa? Keadaannya memburuk dan perlu donor darah?!"

Salwa yang mendengar ucapan Elvis menghentikan aktifitasnya menulis. Ia berusaha menangkap apa yang sebenarnya tengah terjadi.

"Oke, aku akan ke sana dan mencari pendonor yang tepat." Pria itu menutup telepon. Ia meraih jaket di atas sofa depan dan kunci mobil di atas meja.

"Apa yang terjadi? Apa gadis penggantiku yang sedang kritis?"

Tadinya Elvis tak ingin melibatkan Salwa, tapi melihat antusias gadis itu ia tak bisa berbohong.
"Betul."

"Tunggu sebentar, aku ikut! Apa golongan darahnya?"

"A."

"Aku juga A. Tunggu!" Salwa berlari tergesa ke kamar untuk berganti pakaian dan memakai cadarnya. Saking khawatirnya, lupa beberapa waktu lalu berseteru dengan Elvis dan mengatakan tak ingin pergi dengan pria itu.

Mobil terus melaju membelah jalanan kota. Pandangan Salwa melihat ke luar jendela, di mana kerusuhan tadi pagi terjadi. Ia menghela napas begitu ingat kejadian tadi pagi dengan Elvis. Jika dipikir, tawuran yang terjadi sangat brutal. Bisa saja musuh Elvis menangkap mereka jika Salwa berteriak dan mendorong tubuh Elvis ke luar dari sela pagar.

"Sepertinya kita butuh satu wanita lagi, agar kamu tidak canggung dan berpikir buruk tentangku. Banyak hal yang harus kita selesaikan. Jadi mau tak mau kita akan terus bekerja sama dan pergi bersama." Elvis mengucap datar sambil menyetir. Meski merasa benar, ia berusaha memahami posisi Salwa yang begitu keras menjaga kehormatan nya.

"Hem. Aku setuju, tapi aku takut jika yang menimpa gadis yang mejadi badalku sekarang terulang lagi pada gadis lain." Salwa menjawab sambil menunduk. Ia tak berani menatap Elvis meski hanya melalui pantulan spion kaca.

"Kalau begitu, tidak ada jalan lain, menikahlah denganku."

"Apa?"

"Aku serius! Jika perlu, kamu boleh minta cerai setelah masalahmu dengan kiai brengsek di pesantren itu dan papiku selesai!"

Salwa makin melebarkan mata. Elvis kali bicara serius.

BERSAMBUNG

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang