SATU KEMATIAN
Abine mengangkat ponsel yang berdering. Tak ia hiraukan ketika seorang santri membawakannya segelas minuman, lantas meminta santri itu enyah segera, dengan isyarat tangan. Takut kalau-kalau perbincangan dengan orang di ujung telepon terdengar.
"Anda boleh saja rakus, tapi tidak seharusnya bodoh." Ucapan papi Elvis menekan begitu saja tanpa ada kalimat pembuka.
"Apa maksud njenengan?" Dahi yang mulai terlihat garis keriput milik abine berkerut-kerut.
Ingin marah lantaran makian yang didapat, tapi apa daya? Ia mengerti bahwa mafia sekelas Bramanta tidak memerlukan adab dalam bicara, jika pun melawan dan membuatnya kesal bisa-bisa nyawa lah yang melayang.
"Hubungi nomor ponakanmu!" seru Bramanta sebelum menutup panggilan.
Menurutnya kiai penjilat pejabat itu bukan hanya sampah tak tahu diri, tapi juga otaknya tidak berfungsi dengan benar. Bagaimana dia tidak curiga sedikitpun mengenai keberadaan Salwa, padahal nomor gadis itu masih aktif hingga sekarang.
Abine menatap ponsel dengan heran. Ada apa dengan Bramanta? Jika dia menyempatkan diri menghubungi, artinya ada yang penting. Sesuatu yang sifatnya mengancam.
Pria paruh baya itu berpikir keras dengan menggenggam ponsel, menatap kerumunan santri yang tengah berolahraga di tengah lapangan. Ia menyukai anak-anak berseragam di bawah asuhannya, yang menjadi tanda pundi-pundi terus mengalir tiap waktu. Namun, sekarang bukan itu yang ada di pikiran, melainkan ucapan Bramanta yang menjadi teka-teki.
Mata sayu abine kini menatap layar ponsel. Diusapnya. Lalu menekan icon kontak dan mencari dua nama, Rofiq dan Salwa. Satu per satu ponsel dihubungi. Tak ada yang aktif.
"Apa maunya preman kakap itu? Apa mau mengerjaiku?" Abine kebingungan. Tapi rasanya aneh jika sekelas Bramanta buang-buang waktu menghubunginya tanpa ada tujuan jelas.
Ia sudah memastikan Rofiq tak akan kembali, begitu pun Salwa. Dengan keberanian yang dikumpulkan selama ini, abine berhasil menyingkirkan dua putra mahkota di pesantren yang akan mewarisinya.
"Ini sedikit merepotkan. Subhanallah ....!"
Pria tua itu mendesah.
***
Salwa memandangi ponselnya yang mati. Ia memang jarang sekali mengaktifkan ponsel, jika tidak penting sekali, seperti kata Elvis memperingatkan. Nomor itu bisa saja dilacak oleh pakleknya.
"Bagaimana ini? Bagaimana aku akan bertanya teman atau ustazah? Aku juga tidak mungkin bicara pada Kang Ayash jika akan menikah dengan Tuan Elvis." Salwa mondar-mandir menggigit bibir bawahnya.
Terlampau bingung. Semua jalan buntu untuk ditempuh.
Lelah berpikir, gadis itu menghempaskan tubuh ke ranjang king size di belakangnya. Hobbynya memandangi langit-langit kamar saat bimbang lumayan meredakan sedikit sakit kepalanya, karena terstimulasi saraf-saraf tenang dari punggungnya yang mendarat di benda empuk.
Tidak lama ia meraih ponsel. Ada laporan panggilan masuk ke pesan. Salwa memilih menguninstall semua aplikasi chat, untuk menyulitkan pendeteksian. Hanya mesengger yang menempel sejak perangkat itu dibelinya yang menjadi satu-satunya akses berkirim pesan. Dan hingga saat ini ia hampir tak pernah menerima pesan dari sana.
"Sepertinya aku harus bergatin nomor. Tapi, aku sungkan bicara pada Tuan El." Salwa mendesah.
Saat hendak mematikan ponsel, sebuah nomor asing masuk. Jangan-jangan dari abine? Salwa tidak mengangkat, dan memilih akan mematikannya saja. Namun, lagi-lagi urung karena nomor itu mengirim pesan.
"Al, tolong Abang. Abang tau kamu juga dalam bahaya."
Mata Salwa melebar sempurna. Mungkinkah itu Bang Rofiq?
Buru-buru ia menghubungi nomor tersebut, tapi sudah tidak aktif.
Salwa bangkit dari posisi berbaring, setelah menyimpan nomor yang baru masuk. Ia mematikan ponsel dan berlari ke luar.
"Ada apa, Nak?" tanya Mami Elvis yang menangkap kecemasan di wajah Salwa ketika gadis itu ke luar kamar.
"Em, Bu ... apa Tuan Elvis sudah lama ke luar?"
"Sudah sekitar setengah jam. Apa ada yang terjadi?" Mami Elvis ikut khawatir, jangan-jangan ini menyangkut anaknya. Mengingat kehidupan Elvis yang dikelilingi marabahaya.
"Ini soal abang saya, Bu. Em, boleh kah saya meminjam ponsel untuk menghubungi Tuan El?" Salwa meminta dengan tak nyaman.
"Ya, yah. Silakan." Dengan sigap wanita paruh baya itu mengambil benda pipih di kantongnya.
***
Elvis tengah berada di rumah sakit Sumber Harapan, tempat di mana gadis BAR dirawat. Seorang pengawalnya menelepon, dan memberi tahu keadaan pengganti Salwa menurun drastis. Ia sengaja tak membawa serta Salwa lantaran tidak ingin melemahkan gadis itu.
"Bagaimana keadaannya?" Elvis bertanya cemas.
"Saya tidak tau, Tuan. Di dalam dokter tengah berusaha keras. Sepertinya sedikit sekali harapan."
Elvis mendesah mendengar jawaban itu. Entah, seberapa besar rasa bersalah Salwa nanti jika gadis itu tak selamat, dan tentu saja dirinya yang berinisiatif membuat rencana.
Suara yang timbul karena gerakan-gerakan cepat beberapa dokter, beradu dengan alat-alat yang tersambung ke tubuh pasien. Napas gadis BAR itu naik turun. Seorang dokter menaikkan tekanan ventilator karena menginginkan pasien mendapat oksigen lebih banyak. Mereka berjuang keras agar sang pasien tetap hidup. Namun, setelah alat kejut jantung digunakan, benda itu juga tak bisa memperpanjang umurnya. Gadis itu meninggal diiringi desahan para dokter dan perawat yang kecewa.
"Innalillahi wa inna ilaihi roijun." Seorang perawat mengucapnya.
"Sekarang pukul 15.13 waktu kematiannya," ucap seorang pria berpakaian putih dengan masker menutup mulutnya, sebelum akhirnya dokter itu pergi meninggalkan ruangan. Ketika berpapasan dan bicara pada Elvis serta satu orang lain yang menjaga pasien, gurat kecewa tampak jelas di wajah dua orang itu.
Elvis memukul dinding mengungkapkan kekecewaan. Dia bukan Bramanta yang terbiasa melayangkan nyawa orang lain, dia Elvis yang merasakan sakit setiap kali melihat kematian di hadapannya. Tak dipungkiri kebencian untuk papinya semakin berlipat-lipat.
***
Sedang berada di toilet mencuci muka, ponsel milik Elvis berdering. Perlahan diangkatnya. Ia perlu menenangkan hati, tapi juga tak boleh mengabaikan hal lain untuk diurus.
Dahinya berkerut ketika melihat nama yang tertera di layar. Panggilan itu datang dari maminya.
"Iya, Mi, assalamualaikum," sapa Elvis pada orang di ujung telepon.
"Assalamualaikum?" Sang Mami justru bertanya maksud salam tersebut. Apa Elvis sedang memainkan drama di seberang apa bagaimana?
"Eum. Elvis harus membiasakan ini. Mami sepertinya juga." Pemuda itu mnegucap malu-malu.
"Ouh. Begitu. Oya bagaimana kabarmu di sana, Nak? Mami khawatir." Perempuan paruh baya itu akhirnya bisa menyampaikan maksudnya menelpon.
"Yah, Elvis baik-baik saja."
"Oh, syukurlah."
"Mami jangan khawatir."
"Ini, Salwa, Tuan."
"Apa? Ya, Salwa. Bicara lah." Suasana hati karena kematian gadis BAR memaksa Elvis menjawab lesu, meski ada rasa senang mendengar suara gadis itu.
"Barusan ada kabar tentang abang saya."
"Abang? Kakak kamu?"
"Ya. Eum. Secara syariat, seorang kakak laki-laki bisa menjadi wali nikah untuk seorang perempuan."
Elvis tersenyum tipis, meski suara di ujung telepon terdengar khawatir.
'Bukan kah, seorang kakak laki-laki bisa jadi wali pernikahan dalam Islam?' batin pria itu senang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Salwa, Gadis tanpa Kegagalan
Dla nastolatków21+ Yang puasa boleh diskip. 😂 Setelah semakin melotot kaget karena ada yang menempelinya, Salwa mendorong kuat tubuh di depannya tapi gagal. Mundur pun tak bisa karena posisinya yang sudah mentok ke dinding beton pagar, hingga akhirnya memilih pas...