Pesan Cinta

426 33 1
                                    

Pria paruh baya itu meletakkan ponselnya di atas meja yang berada disamping tempat duduknya. Raut wajahnya tak bisa digambarkan dengan kalimat sederhana.

Entah sudah yang keberapa kalinya dia menerima panggilan dari pengacaranya terkait surat kuasa atas pesantren ini. Beliau didesak untuk segera mendapatkan tanda tangan asli dari Kiai Rozak, kakak iparnya.

Sebelum panggilan terakhir barusan, pengacara memperlihatkan vidio tausiyah Kiai Rozak.

"Lihatlah! Bahkan dia masih leluasa berdakwah melalui media sosial dan terlihat baik-baik saja." Kalimat itu diucapkan oleh pengacara sesaat setelah vidio selesai ditonton.

Apalagi tema yang diambil oleh Kiai Rozak adalah tentang pengkhianatan. Beliau mengatakan bahwa pengkhianatan sering dilakukan oleh orang terdekat yang sangat dipercaya. Mendengar hal itu Abine merasa tersindir dan semakin meradang.

Abine mengusap wajahnya kasar, emosinya sudah di ubun-ubun. Tinggal satu langkah lagi rencananya merebut pesantren ini, ternyata gagal karena mafia itu tidak berhasil mendapatkan tanda tangan asli dari keponakannya. Dan kakak iparnya yang diperkirakan akan segera lenyap ternyata selamat dari koma.

Dia lupa kalau urusan mati hanya milik Allah dan tidak ada satupun manusia yang dapat mencegah atau pun menghindarinya. Nafsu dan ambisi untuk dapat menguasai pesantren telah membutakan mata hati dan akal sehatnya.

Persoalan pesantren yang telah dia rekayasa sejak jauh-jauh hari, sekarang ibarat bumerang yang kembali menyerang dirinya. Ketua mafia yang dia andalkan hanya membuat masalah semakin runyam. Bagaimana tidak, menemukan seorang gadis seperti Salwa saja Bramanta tidak bisa.

Tangannya kembali meraih benda pipih yang tadi dia letakkan. Jari-jari tuanya lincah mengusap layar ponselnya.

"Kiai Rozak masih aktif berdakwah melalui media sosial dan terlihat baik-baik saja. Apakah sesulit itu menemukan satu orang saja untuk mafia sekelas anda?"

"Tenanglah Abine, dia akan segera kami temukan. Aku yakin dia tidak pergi jauh dari sini," jawab Bramanta tenang.

"Bagaimana aku bisa tenang, jika mengandalkan orang yang aku percaya tapi tidak bisa bekerja."

"Kamu lupa sedang berbicara dengan siapa?" tanya Bramanta pelan.

Abine menutup mulutnya setelah sadar apa yang baru saja dia ucapkan. Tiba-tiba dia teringat ucapan Elvis ketika datang ke pesantren tempo hari.

"A-aku hanya sedang memberikan semangat kepadamu, ayolah, jangan salah faham."

"Semangat? Apa aku tidak salah dengar?" Bramanta tertawa dengan keras sampai-sampai Abine menjauhkan benda itu dari telinganya.

"Aku tidak mau tahu, bagaimana pun caranya kiai Rozak harus segera ditemukan. Dalam kondisi apapun." Setelah berkata seperti itu Abine menutup panggilan. Punggungnya terhempas pada sandaran kursi, sementara wajahnya tengadah menatap langit-langit. Dia tidak mau gagal, setelah merencanakan ini bertahun-tahun.

Umine yang sejak tadi tidak sengaja menguping pembicaraan Abine dengan Bramanta melalui telepon itu hanya bisa mengelus dada. Kekhawatiran akan keselamatan kakak dan keponakannya semakin dirasakan oleh wanita itu.

***

Di kediaman Bramanta, setelah menerima telepon dari Abine pria itu nampak geram. Pencarian terhadap Kiai Rozak sudah dia maksimalkan. Semua anak buahnya sudah dia kerahkan untuk berpencar ke berbagai sudut yang di curigai menjadi tempat persembunyian kiai. Namun hasilnya tetap nihil.

Berbagai alat canggih sudah digunakan untuk melacak keberadaan mereka. Bramanta dan anak buahnya tidak sadar bahwa secanggih-canggihnya alat dan sepintar apapun strategi mereka tidak akan akan menemukan mereka. Karena kiai dan keluarganya dilindungi oleh do'a-do'a mereka. Doa mohon perlindungan dari segala marabahaya serta orang-orang yang dengki.

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang