Part 3

6.5K 208 5
                                    

"Kamu pasti bercanda, Nona." Elvis tersenyum. "Ayo keluar lah, tidak ada wanita baik-baik yang ikut pergi preman," imbuhnya lagi sembari mencondongkan badan membuka pintu mobil di samping Salwa.

Salwa sempat melotot karena tubuh mereka begitu dekat. Namun, sekarang bukan waktu tepat untuk menuruti perasaan aneh atau marah.

"Em. Tidak Tuan. Tolong bawa aku jauh dari tempat ini. Setelah itu aku akan pergi." Salwa benar-benar memerlukan bantuan. "Oya, ini ada uang untuk mengganti bensinnya." Salwa merogoh dua lembar uang lima puluh ribuan di kantong kecil dalam ransel.

Elvis memandang gadis itu dengan iba. Seolah masalah yang tengah dihadapi tak sesederhana yang dia pikirkan.

"Aku janji akan berikan apa pun asal Tuan bisa menjauhkanku dari tempat ini."

"Apa pun?"

Dari sisi lain tiga santri tengah berjalan menuju gerbang putri untuk menyerahkan laporan pada ustaz Ramdhani, di mana rumah ustaz Ramdhani ada di balik pintu pertama. Ketiganya melambatkan langkah karena ada mobil sport mewah terparkir di sana, Ayash satu pemuda di antara tiga santri itu memicingkan mata. Matanya melebar, tatkala melihat Salwa ada di dalam mobil bersama pria.

"Ada apa?" tanya ikhwan. Namun, belum mendapat jawaban ia pun ikut terkejut ketika melihat apa yang rekannya saksikan.

"Ning Salwa?"

Kaki mereka sontak berjalan cepat dan berlari menghampiri mobil itu. Namun, baru separuh perjalanan, pintu mobil ditutup dan melaju meninggalkan pesantren tanpa menurunkan Salwa. Ketiganya kecewa.

"Astagfirullah, Ning Salwa sama laki-laki asing." Ikhwan mengucap tak percaya.

"Bagaimana kalau dia diculik?"

"Sudah, ayo cepat. Kita perlu melapor pada Ustaz Ramdhani dan Abine." Ayash berusaha tenang. Mungkin dengan bergerak cepat, Salwa bisa diselamatkan.

Di rumah ustaz Ramdhani mereka segera menceritakan apa yang terjadi. Tidak membuang waktu pula, keempatnya menemui abine. Kamtib telah berkumpul di rumah abine, mereka sudah berkeliling mencari Salwa di sekitar pesantren dan tak menemukan gadis itu.

"Ning Salwa tidak mungkin pergi, saya kenal betul. Pasti pria itu menculiknya." Ustaz Ramdhani memberanikan diri berasumsi, di saat semua orang diam di hadapan pria yang merupakan suami dari adik Kyai Rozak itu. Pria kedua yang disegani setelah Kyai Rozak.

Wajah abine terlihat sangat geram. Ia pasti menanggung beban berat atas kepergian Salwa.

"Apa sebaiknya kita melapor ke polisi saja?" tanya Ustaz Ramdhani lagi karena khawatir. Sama halnya dengan Ayash yang duduk di samping pria itu. Ia sangat takzim pada keluarga Kyai Rozak, bahkan ia menyimpan dan menjaga perasaan selama ini untuk Salwa.

"Laporan tidak akan diproses sebelum 24 jam oleh polisi." Mang Abror, seorang ketua Kamtib menimpali.

"Tidak. Kita tidak boleh lapor polisi demi menjaga nama baik pesantren. Setelah dibawa ke ranah hukum, media akan mengeksposenya. Kita tidak tau apa yang sebenarnya terjadi. Bisa jadi Salwa kabur dengan pria itu." Abine mengucap dengan tegas.

"Kabur?" Ustaz Ramdhani dan yang lain tak percaya dengan pernyataan abine. Mereka saling pandang menyangkal kalimat itu.

'Salwa apa yang kamu rencanakan?' tanya abine dalam hati. Ia ingat bagaimana kejadian tadi pagi, saat menyodorkan berkas untuk Salwa tandatangani. Gadis itu membaca dengan teliti, dan bicara dengan tenang meminta waktu hingga malam ini. Namun, kenyataannya sekarang dia menghilang.

Sorot amarah terpancar dari mata abine, yang semua orang menafsirkan dengan ekspresi khawatir pada keponakannya.

***

Elvis berjalan dengan santai memasuki rumah megahnya. Tangan kanan memutar-mutar kunci mobil dan suara siulan keluar dari mulutnya.

Ia berjalan memasuki lift, menuju lantai paling atas yang ia tinggali dengan sang papi. Begitu masuk, langkah anak mafia itu menuju dapur yang luas. Menyeduh minuman untuk menghangatkan badan, hingga seorang pria menghampiri dan berdiri di seberang meja.

"Kamu sudah pulang, El?" Sang papi bertanya sembari melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 00.15.

"Em."

"Aku dengar kamu membawa kabur gadis incaran Baroon CS?"

Elvis tidak menjawab sambil terus mengaduk minumannya. "Hemh. Ini sangat nikmat. Apa perlu aku tidak pulang agar tidak ada yang bertanya dan menganggapku anak kecil. Heh." Elvis tersenyum sinis. Ia bicara sendiri seolah tak peduli pada ucapan papinya.

"El, kapan kamu dewasa? Kamu tau papi bisa berbuat apapun bukan?"

Elvis mendongak. Tatapannya beradu dengan ketua mafia di hadapannya. "Gadis itu temanku, jangan pernah menyentuhnya." Ia mengucap pelan dan menekan.

Kini keduanya masih saling pandang dan membisu beberapa saat. Kebencian membuat jurang pemisah semakin curam antara ayah dan anak itu. Hingga seorang wanita -seusia Elvis keluar kamar sang papi yang hanya mengenakan lingerie- mendekat.

"Sayang, ayok!" Wanita itu memeluk ketua mafia dengan manja.

"El. Sebaiknya kamu berpikir sebelum bertindak. Mata papimu ada di mana-mana. Jangan sampai karena ingin jadi orang baik, kamu menyakiti orang yang dekat denganmu." Ketua mafia menekan suara beratnya sebelum akhirnya pergi memeluk sang wanita kembali ke kamar.

Elvis sangat jijik melihat itu. Namun, ia tak bisa berbuat apa pun. Kalau saja bukan karena ibu dan kakak perempuannya, ia pasti sudah pergi jauh sejauh-jauhnya dari sang papi. Dadanya terbakar, ia menenggak habis minuman yang masih terasa panas di tanngan hingga habis. Lalu melempar gelasnya ke lantai.

"Argh!" --PRANK.
Suara teriakannya diiringi gelas pecah. Muak pada ocehan papinya.

Wanita yang ada di kamar sang papi kaget karenanya.
"Tuan?"

"Biarkan saja." Lelaki yang dipanggil tuan itu menjawab santai. Kehilangan satu gelas bukan masalah, yang penting anak lelakinya tetap pemarah dan kejam.

Elvis benar-benar kesal. Ingin membunuh pria yang mencampakkan ibunya tapi tak cukup punya keberanian. Ia merasa jadi anak yang tak berguna. Darah yang dipenuhi kasih sayang sang ibu mengalir dalam tubuhnya. Meski berkali-kali melihat kekejaman papinya membunuh, tangannya belum pernah melakukan itu. Membuat orang lain koma karena pukulan adalah kejahatan terbesar yang pernah ia buat.

Pria itu membanting tubuh ke ranjang, matanya sangat sulit terpejam. Pikirannya beralih pada gadis yang dimaksud sang papi. Ia merasa melewati hari istimewa hari ini. Kali pertama menyelamatkan nyawa seseorang. Setelah mendengar cerita gadis yang ditolongnya, setidaknya ia tidak lagi merasa menjadi manusia paling menderita di dunia. Karena anak kyai itu rupanya punya kisah lebih tragis dari yang ia punya.

"Aku akan membayar semuanya begitu masalahku selesai, Tuan. Terimakasih untuk hari ini." Ucapan Salwa membuat bibir merah Elvis tersenyum. Akhirnya ada seseorang mengucap terimakasih padanya. Sejak sekarang ia akan menjadi manusia berarti karena seseorang. Salwa.

BERSAMBUNG

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang