JANGAN HATINYA

699 49 1
                                    

"Salwa adalah gadis baik, itu kenapa aku hanya ingin memberikan yang terbaik untuknya." Kiai terus bicara, mengingat banyak hal mengenai Salwa.

Tentang kebaikan gadis itu, dan sederet rencana besar yang dipersiapkan. Namun, siapa yang sangka bahwa takdir berjalan di rel lain dari pada rencananya.

Sementara itu, pikiran Ayash juga mengembara jauh. Membayangkan di mana posisinya sekarang. Bahwa Elvis tampak memilliki ketertarikan besar pada Salwa, calon istrinya. Hem, ya ... Ayash bisa menganggap begitu, sebab ucapan Kiai tadi.

******

Di tempat lain ....

"Sebaiknya kita pergi dari tempat ini sekarang!" ajak Elvis yang merasa bahwa mereka sekarang sedang tidak aman.

Tak ada satu pun yang menjamin, bahwa papinya tidak mengirim mata-mata atau pun penyadap yang entah dipasang di mana. Sejak mengenal dunia mafia sejak kecil, kecanggihan teknologi terus berkembang. Terutama di dunia mereka.

Rofiq yang merasa banyak hal terjadi dan belum jelas baginya, sontake menoleh ke arah Elvis. Pemuda itu tampak serius dari kata-katanya setiap kali bicara.

'Mungkinkah itu artinya, bahwa pria ini bisa dipercaya?' batin Rofiq. Ia mulai luluh dengan pria tampan yang terus bicara dan bersikap melindungi Salwa.

Setelah dipikir, semua yang diucap Salwa memang ada benarnya. Bisa dibayangkan bagaimana nasib Salwa selama ini tanpa Elvis.

Kakak Salwa mendesah menatap Salwa sejenak. "Kakak mempercayaimu untuk sekarang."

Salwa tersenyum, mendengar pernyataan sang Kakak.

Mereka pun akhirnya beranjak pergi, meninggalkan gedung sepi dan gelap yang menjadi tempat mereka bertemu.

"Kamu belum menyentuh adikku, bukan?" tanya Rofiq di sela langkah. Ia tak bisa menahan rasa penasarannya untuk tahu mengenai sesuatu yang sangat penting tersebut.

***

"Eum, Yai." Suara Ayash terdengar pelan memanggilnya. Meminta perhatian dari pria sepuh itu.

"Ya?" Kiai menoleh, menatap pada Ayash dengan mata yang melebar. "Kamu juga ingin  mengatakan sesuatu yang mengusik hatimu?"

tanyanya. Tidak biasanya setelah dia bicara, Ayash pun ingin bicara. Barangkali ada sesuatu yang juga mengganggu hatinya kalau disimpan sendiri dalam hati. Sama seperti Abah Salwa.

"Ya, Kiai." Ayash menyahut cepat. Kali ini ia tak memiliki keraguan untuk mengatakan apa yang mengganjal dalam hatinya.

"Katakan." Pria sepuh itu tak segan memberi kesempatan bicara. Ada kalanya, kita mengeluarkan apa yang ada di hati, agar orang lain bisa mendengar dan kemudian memikirkan solusinya.

Namun, kita juga tak boleh egois memaksakan fakta dari satu pihak tanpa mau peduli pada pihak lainnya. Seolah semua yang datang dari sendiri adalah kebenaran, dan apa pun yang orang lain perbuat tak sesuai maunya adalah kesalahan. Yah, itu terlalu egois. Kiai yang dikenal berhati dan berjiwa besar itu tak mungkin akan melakukan itu.

"Eum. Bagaimana menurut Yai, kalau ternyata Ning Salwa masih hidup?" Ayash mengucap dengan hati bergetar. Bagaimana tidak? Ia akan mengungkap kebenaran yang selama ini disimpannya.

Namun, tampaknya setelah mendengar isi hati pria sepuh itu, kabar Salwa masih hidup adalah sesuatu yang menggembirakan baginya. Bukan kabar buruk yang membuatnya syok, seperti yang dikhawatirkan sebelum ini.

"Apa?" Mata Kiai melebar sempurna. Menatap tak percaya pada Ayash. Menyelidik dengan menatap dalam ke kedua mata santrinya itu, menyelidik apa yang ada dalam pikirannya.

Mungkinkah Ayash hanya bicara dusta untuk menghiburnya? Namun, ia sudah mengajarkan dan menegaskan pada santrinya terutama Ayash yang seringkali dekat dengannya, bahwa kebohongan itu bukan jalan terbaik untuk menyelesaikan masalah. Kecuali untuk beberapa hal yang sifatnya darurat dan diperbolehkan syar'i.

"Ini sebenarnya hanya sekadar pertanyaan atau sebuah retorika untuk menyampaikan fakta?" tanya Kiai.

"Ini retorika untuk menyampaikan fakta, Yai." Ayash mengatakan dengan lugas. "Saya minta maaf, karena selama ini ikut menyembunyikan keberadaan Ning Salwa."

"Ya, Robbi ...." desah Kiai dengan mata berkaca-kaca. Hatinya berdebar. Ia seperti telah menemukan secercah harapan yang selama ini nyaris pupus.

"Yai, harus kuat. Ning berada dalam ancaman, itu kenapa kami memilih menyebar rumor kalau Ning Salwa telah meninggal. Dengan begitu mereka berhenti mencarinya." Ayash menjelaskan alasan kenapa gadis yang dicintainya itu harus berbohong, begitu juga Ayash.

"Saya akan menjaga Yai, sampai benar-benar sembuh di sini. Kalau perlu, setelah sembuh kiai tidak kembali ke pesantren sampai Ning Salwa bisa kembali merebut kedudukan yang dikuasai abine." Ayash terus bicara. Karena dia tahu, kiai akan sulit berkata-kata setelah mendengar kenyataan ini.

"Yai, saya harap, Yai juga tak berprasangka pada Ning Salwa. Kabar bahwa dia berzina dengan preman itu tak benar. Saya yang menjaminnya." Ayash kembali meyakinkan agar sng kiai tak kepikiran.

Dia melihat sendiri, bahwa Salwa juga sangat muak pada Elvis. Pria yang tampak mesum. Ah, tapi entah. Kenapa dia sendiri merasa, Elvis bisa menjaga Salwa.

'Boleh saja kamu menjaga raga Ning Salwa Elvis, tapi hatinya ... jangan.'

******

Di pesantren, Abine sedang membahas sesuatu yang serius dengan seorang notaris.

Mata notaris itu menatap intens berkas yang ada di depannya. Sebuah berkas yang sudah berbubuh tanda tangan dan sidik jari seseorang. Yang disinyalir adalah pewaris kekuasan di pesantren.

"Ada masalah?" Abine menatap heran ekspresi pria yang ditunjuknya untuk mengurus masalah hukum.

"Ya." Notaris itu menyahut.

"Apa itu?" Abine mulai panik. Dia sudah mendapatkan surat berbubuh tanda tangan itu dengan susah payah. Bahkan mengorbankan nyawa Salwa, sebagai sebuah keterpaksaan dan hal darurat.

"Tanda tangan dan sidik jarinya tidak sah." Notaris mendongak. Menggerakkan mata perlahan, mendongak menatap wajah kiai yang kini memegang kendali di pesantren.

Padahal sebelum pertemuan sekarang ini, notaris itu sudah mengatakan, untuk hal sebesar pesantren, mereka tak bisa menggunakan persetujuan dan bukti palsu. Sebab pengadilan tidak akan pernah menerimanya.

"Saya tak mau tau, bagaimana pun ini harus asli. Atau saya tidak bisa membantu apa pun." Notaris itu melepas kaca mata. Mendesah panjang sambil menyandarkan punggung ke kursi.

"Apa maksud Anda? Tanda tangan dan sidik jari itu asli. Saya bahkan harus membayar mafia untuk itu!" Suara Abine meninggi. Ia tak terima sesuatu yang didapatnya dengan susah payah malah dikatakan palsu.

Notaris itu mencebik sambil mengangkat bahu.

"Terserah, mau bayar berapa pun. Mungkin gadis yang Anda bunuh itu bukan ponakan Anda." Notaris itu meraih gelas di meja dan menyeruput perlahan isinya.

Abine mendesah. "Tapi bagaimana bisa? Mafia itu tak mungkin salah." Pria itu geleng-geleng. Tak mnegerti apa yang sebenarnya terjadi. Kalau bukan Salwa yang mati lalu siapa?

"Hem. Minuman ini begitu nikmat. Anda beruntung punya istri pandai memanjakan perut Anda." Notaris memuji.

Namun, pikiran Abine sedang fokus pada hal lain yang lebih penting, hingga tak sempat untuk memerhatikan pujian itu.

"Aku harus menghubungi kepala mafia itu. Kenapa dia bisa memberiku tandatangan palsu?" ucap Abine sambil merogoh ponsel dalam sakunya.

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang