Mencuri Ciuman Pertama
Salwa masuk dan duduk di dalam mobil dengan perasaan ditenang-tenangkan. Sementara Elvis masih menjaga jarak, ia memilih tidak segera masuk dan menunggu Ayash. Hanya karena memeluk Salwa seolah dia dipandang sangat hina, pun Salwa sepertinya juga sangat marah padanya.
Why? Apa yang salah? Sedikit pun Elvis tak berniat kurang ajar dan melecehkan gadis berkerudung itu.
Pria bertato itu menyandarkan tubuhnya di mobilnya. Sementara Salwa melirik sejenak lalu memilih mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia mencoba membuang perasaan anehnya dengan membuka ponsel.
"Soal, tadi ... em, aku minta maaf." Elvis mengucap tanpa memandang pada Salwa, sedang gadis itu menghentikan pergerakan jarinya di atas layar mendengar ucapan sang pria.
"Padahal sedikit pun tak ada maksud merendahkanmu, apalagi melecehkan dalam artian akan berbuat sesuatu em ... sejenis hubungan pria tertarik pada wanita," sambungnya lagi. Salwa mengerutkan kening karena pernyataan Elvis.
"Kamu, tahu kan. Aku tidak mungkin menyukaimu. Ayolah." Kali ini pria itu memutar tubuhnya melihat ke dalam mobil di mana sosok gadis yang dibuatnya tak nyaman itu berada. Salwa sedikit tersentak, ia menatap wajah Elvi hingga tatapan mereka bertemu beberapa saat. Namun, buru-buru ia menunduk dan membalikkan tubuhnya ke samping. Melihat keluar kaca mobil di sisi lain Elvis. Ia sungguh tak menyukai perasaan canggung ini.
"Oh. Ok." Suara Elvis terdengar pelan. Ia menyerah. Sepertinya Salwa memang marah padanya. Tak lama gawai pria itu berdering.
"Ya, Roon!?" sapanya pada anak buah di ujung telepon.
"Apa penyerangan dari Black Wolf? Besok?" Elvis terlihat khawatir ketika mendapat ancaman dari Mafia lain.
"Oke, lo atur aja, Roon. Nanti gue hubungi lagi." Selesai dengan percakapannya Elvis menutup telepon. Ia mengintip Salwa yang masih pura-pura tak peduli. Sebenarnya gadis itu sangat ingin tahu apa yang terjadi, walaupun bukan urusannya respon Elvis menandakan ada masalah yang mengancam.
Sekitar sepuluh menit, Ayash datang setengah berlari dari dalam.
"Huft, akhirnya sampe juga." Ia meniup berat. "Kamu beruntung aku tidak jadi membunuhmu." Kali ini wajah Ayash sudah terlihat lebih tenang dari sebelumnya. Elvis hanya tersenyum sinis melihatnya. Ia malas melanjutkan apa yang terjadi di dalam tadi."Ning, sebaiknya Ning cari tempat tinggal sendiri. Jangan serumah sama dia, lagian dengan memakai cadar itu sudah cukup menutupi identitas Ning." Ayash melihat pada Salwa yang menatapnya dari kaca jendela terbuka.
"Kamu gila! Kamu pikir kita sedang bermain drama, jadi dnegan mudah memanipulasi keadaan. Papiku bahkan bisa mengendus bangkai dalam lubang semut." Elvis tidak setuju dengan usul Ayash.
"Di tempat umum saja kamu bisa memeluknya, bagaiamana jika Ning Salwa lengah saat ada di rumahmu?!"
"Kang, tenanglah. Di rumah itu aku tinggal dengan ibu dan kakaknya, dia sendiri hanya sesekali mampir ke sana. Lagian aku jago silat, akan dengan mudah mematahkan seluruh tulang-tulangnya." Salwa melirik sinis pada Elvis. Sedang pria itu tersenyum kecut. Tak percaya mafia sepertinya diancam oleh seorang gadis.
"Tapi, Ning ...." Ucapan Ayash menggantung.
"Sudahlah, jangan banyak bicara dan masuklah. Banyak hal yang harus kita urus!" Elvis bergerak ke arah depan mobil.
"Em, aku tidak bisa pergi. Kyai sedang membutuhkanku sekarang." Ayash mengucap ragu. Ia tidak mau Salwa hanya berdua dengan Elvis, tapi ia juga tak tega meninggalkan Kyai Rozak sekarang.
"Apa?!" Mata Salwa melebar. Ia tidak mau mengahbiskan waktu berdua dalam mobil dengan Elvis. Perasaannya saja belum pulih dari kejadian tadi.
"Pergilah, Ning. Dan tetap waspada pada pria cabul ini." Ayash memperingatkan gadis di depannya. Sementara Elvis mencebik mendengar itu.
Mobil akhirnya pergi meninggalkan parkiran rumah sakit. Suasana terasa begitu hening di sepanjang jalan menuju apartemen Ibu dan kakak Elvis. Kalau saja semua orang tidak mempermasalahkan pelukan tadi, pasti ia tak perlu secanggung sekarang.
"Tolong lupakan soal tadi." Elvis berusaha menetralisir suasana tak nyaman itu.
"Hem. Jangan diulangi lagi." Salwa menjawab pelan.
"Yah, tentu saja tidak akan kuulangi. Untuk apa juga?" Suara Elvis naik, yang terdengar ia begitu senang. Salwa melihat padanya, Elvis yang menyadari itu dari spion jadi salah tingkah. "Em. Maksudku, aku tak perlu mengulanginya, jika kamu tak suka."
Tidak ada lagi obrolan dalam mobil itu. Mereka larut dengan pikiran masing-masing. Begitu mobil sampai, Salwa segera ke luar dan berjala menuju kamar apartemen. Menghindari berduaan dengan Elvis.
***
Gadis yang sudah melepas khimarnya itu merebahkan diri di atas kasurnya.
"Sungguh hari yang melelahkan." Pikirannya terus melayang pada kejadian di rumah sakit, bagaimana Elvis memeluknya. Perasaanya sungguh tak karuan. Ia belum pernah merasakan ini sebelumnya."Jika saja terjadi di pesantren bisa-bisa aku sudah dikawinkan dengannya. Nama abi bisa hancur jika aku berbuat aneh-aneh dengan lelaki itu. Heuhh. Dasar pria mesum!" Salwa menatap kesal dengan tangan meninju-ninju. Namun, tidak lama tatapannya melemah ketika ingat abinya datang dan menasehati banyak hal pada Elvis.
Ia ingat bagaimana abinya meminta Elvis segera menikahinya. "Abi, Salwa tidak mungkin menikah dengan preman sepertinya."
***
Pagi hari saat sampai di apartemen Elvis terlihat sangat cemas. Dengan memegang ponsel di tangan, Ia melihat ke seluruh ruangan dan tak menemukan orang yang dicarinya.
"Ada apa, El?" Ibunya yang tengah membersihkan perabot ikut bingung melihat anaknya gelisah.
"Mam. Salwa di mana??" Ia takut apa yang dipikirkan terjadi. Tadinya ia ingin mengatakan bahwa kelompok dari Black Wolf akan menyerang mereka, dan Salwa tidak boleh ke luar karena lokasinya dekat rumah sakit.
"Dia tadi pamit, mau lihat abinya."
"Oh, ya ampun. Gadis itu merepotkan saja!" Elvis tampak sangat kesal. Kenapa juga Salwa tak mengangkat panggilan darinya tadi.
***
Salwa mengernyitkan dahinya, seperti ada yang tak beres. Jalan yang biasanya sangat ramai, kini tampak begitu sepi. Namun, ia terus berjalan karena tidak ingin kehilangan waktu. Melihat keadaan abinya dari jauh akan lebih dari cukup membuatnya tenang.
Langkah gadis itu berhenti, ketika ada seseorang yang berteriak. "Berhenti lo, Bangsat!!!"
Salwa tersentak. Seseorang dengan tubuh penuh berlari melewatinya dengan dikejar dua orang membawa golok di tangan.
Mata gadis itu melebar dipenuhi rasa takut. "Ada apa ini?" Tak lama suara gaduh terdengar semakin dekat.
Dengan pikiran campur aduk Salwa segera mencari tempat aman bersembunyi. Untunglah ada celah sempit pagar besar tak jauh dari tempatnya. Ia mendorong tubuh mungilnya bersembunyi di sana.
"Allahu, apa ada tawuran di sini?"Dengan napas terengah, Salwa menutup mata. Berharap tak ada seorang pun yang melihatnya bersembunyi di sana. Keringat membanjiri tubuh gadis itu karena takut. Sejak keluar dari pesantren dan bertemu Elvis, kenapa sering sekali ia menyaksikan kondisi semencekam sekarang, seolah kehidupan orang di sekitarnya hanyalah saling bunuh dan melindungi diri.
Suara teriakan di mana-mana. Saling maki, hunusan pisau dan teriakan rasa sakit. Salwa menutup telinganya. Ia benar-benar ketakutan.
Setelah beberapa waktu, terdengar napas naik turun yang kian dekat. Salwa penasaran siapa pemilik suara itu, sedang napasnya sudah tenang dan teratur dari tadi. Ia melebarkan mata terkejut, seorang pria yang hanya berjarak beberapa centi meter darinya berdiri tepat di hadapan.
Mulut gadis itu sudah membulat akan berteriak, tapi dengan cepat pria yang membaca ekspresi Salwa itu mendekat dan menutup mulutnya. Meski dihalangi kain penutup wajah, tetap saja gadis itu semakin syok karenanya!
Bersambung
KAMU SEDANG MEMBACA
Salwa, Gadis tanpa Kegagalan
Teen Fiction21+ Yang puasa boleh diskip. 😂 Setelah semakin melotot kaget karena ada yang menempelinya, Salwa mendorong kuat tubuh di depannya tapi gagal. Mundur pun tak bisa karena posisinya yang sudah mentok ke dinding beton pagar, hingga akhirnya memilih pas...