Part 8

3.4K 182 16
                                    

Elvis menelengkan kepala memberi isyarat pada Ayash agar mendekat pada gadis-gadis itu.

"Ana?" Ayash meletakkan dua tangan di dada. Ia tak yakin Elvis memintanya mendekat, sedang sedari tadi mata bingung hendak diarahkan ke mana, semua wanita itu sangat vulgar dengan aurat terbuka.
"Oh tidak!" Ia menggeleng cepat. Pikirnya anak mafia itu memang tak waras. Apa yang ia inginkan dengan menyuruh Ayash mendekat?

Tidak ingin membuang waktunya yang berharga, kaki Elvis menendang bokong Ayash hingga pria itu hampir jatuh terjungkang. Ayash mendengkus kesal, pria penuh tatto itu sangat tak sopan. Bagaimana bisa pria sepertinya dengan percaya diri menyatakan sebagai calon suami Ning Salwa.

"Apa?!" Ayash berdiri sambil berteriak ke arah Elvis. Apa anak mafia itu ingin semua gadis-gadis dengan pandangan genit itu mengeroyoknya? Licik sekali.

Elvis tersenyum sinis. "Gunakan otakmu!"

"Tuan El, tolong jelaskan dengan benar! Kami tidak mengerti rencana Anda." Salwa menengahi perseturuan dua pria itu.

"Oke!" Elvis menjawab cepat. Setelah menatap pada Salwa yang bicara padanya, ia mengalihkan pandangan pada Ayash. "Pilih satu di antara gadis-gadis itu yang paling mirip wajahnya dengan Ningmu!"

Ayash menautkan dua alisnya. Selama ini ia terus menundukkan pandang pada wanita, tapi kali ini malah diminta untuk memperhatikan wajah-wajah di hadapan yang penampilan mereka membuatnya gagal fokus.
"Kenapa harus aku, ha?!"  tanyanya tak suka.

"Kenapa? Apa harus Ningmu sendiri? Dia mana bisa memperhatikan wajahnya sendiri?" Elvis meminta Ayash berpikir. Ia tak mengerti jika sedari tadi pria yang dipukuli anak buahnya itu menghindari pandangan gadis-gadis.

Salwa melihat ekspresi Ayash, ia tahu betul apa yang pemuda itu rasakan.
"Sudah, jangan memaksanya. Biar aku dan bartender ini yang melakukan." Langkah gadis itu bergerak ke depan, ia memberi isyarat pada abdi dalem keluarganya untuk mundur. Ayash tersenyum tipis, ia lega Salwa memahaminya.

Elvis memutar bola mata malas. Muak. Dua sejoli itu seolah memamerkan betapa mereka saling memahami satu dengan yang lain. Ia melirik dengan senyum kesal pada Ayash yang sudah kembali berdiri di sampingnya.

Seperti model, satu persatu gadis-gadis yang dikumpulkan mendekat pada Salwa dan bartender.
"Sebentar." Salwa mengeluarkan sebuah kain tipis segi empat dari tasnya, agar dipasangkan pada gadis yang akan disejajarkan dengannya. Gadis itu hampir tak pernah meninggalkan kain cadangan, jika sewaktu-waktu harus berganti khimar.

Pria di depan Salwa itu geleng-geleng karena gadis yang berdiri bersebelahan dengan Salwa tak mirip sama sekali.

***

"Akhirnya, ketemu juga. Sekarang kita lihat apakah papiku dan pamanmu akan terkecoh," ucap Elvis yang mengenakan kacamata hitam. Pandangannya fokus pada gadis yang disulap menyerupai Salwa, gadis dengan penampilan bar-bar itu kini mengenakan pakaian tertutup dan hanya terlihat wajah serta tapak tangan. Semua orang akan terkecoh, karena pakaian Salwa yang digunakan.

Ayash dan Salwa pun sama, kini tiga orang itu mengintai dengan hati-hati dari kejauhan. Anak buah Elvis menggandeng seorang gadis memasuki sebuah gudang besar yang biasa mereka gunakan menyandera mangsa yang diingini klien mereka.

"Tapi, apa tidak apa-apa? Aku takut gadis itu akan dilukai dan ...?" Ucapan Salwa menggantung membuat Elvis dan Ayash yang duduk bersebelahan saling pandang. "Bagaimana jika dia diperkosa dan dibunuh?" Gadis itu menggigit bibir bawahnya karena mencemaskan perempuan kiriman Elvis.

"Hemh." Elvis tersenyum menyentak. "Dia tidak akan menolak untuk diperkosa."

"Apa?!" Ayash dan Salwa mengucap bersamaan. Elvis benar lelaki gila.

"Kalian terlalu polos! Dia itu gadis bar."

"Oke, anggap dia gadis bar. Lalu bagaimana jika anak buah papimu membunuhnya?" Ayash mengungkapkan kecemasan yang sama.

"Hemh. Sudahlah tidak usah pikirkan itu. Biar anak buahku yang mengurusnya." Elvis menghela napas, ia nyalakan mesin mobil untuk meninggalkan tempat itu.

Ayash akhirnya diam, dunia mafia ternyata lebih ngeri dari yang ia pikirkan. Dunia kejahatan yang ternyata terhubung dengan kepentingan politik dan sosial masyarakat. Mereka berperan. Mereka dibayar dalam drama pejabat dan tokoh-tokoh yang punya kepentingan.

Begitu pun Salwa. Pikirannya menerawang. Kasusnya sudah menyeret orang lain dalam bahaya. Namun, apa mau dikata? Dia berjuang untuk keluarga, ummat dan agamanya.

***

Abine mneyeringai, di sampingnya seorang wanita yang melihat dengan keadaan cemas.
"Bagus. Kerja kalian memuaskan. Tinggal ambil sidik jarinya dan letakkan dalam berkas-berkas yang aku titipkan."

Seorang gadis yang abine pikir adalah Salwa menunduk, meringis sakit dengan beberapa luka di wajahnya. Sebelumnya, Elvis sudah mewanti-wanti pada Bramanta agar tak menyakiti gadis yang mereka kejar, itulah kenapa Elvis mengatakan setuju menyerahkan Salwa. Namun, pria itu selamanya tidak akan percaya pada papinya sendiri, karenanya ia memilih mengelabui dengan keberadaan gadis lain.

"Baik. Lalu apa yang harus kami lakukan pada gadis ini?" Baroon bertanya dari ujung telepon.

"Lakukan apa pun, tapi ... akan lebih baik jika dia tidak pernah buka suara." Abine tersenyum licik sembari menutup panggilan, seketika sang istri menoleh mendengar ucapan suaminya.

"Bi?!" Wanita paruh baya itu menutup mulutnya. Ia begitu kaget mendengar jawaban sang suami yang akan mencelakai Salwa.

"Mi, jika tujuannya untuk keamanan negeri, membunuh satu orang provokator bukan masalah. Salwa adalah sumber bencana. Dia akan membantu pejuang Islam garis keras dengan suaranya. Akan lebih baik jika dia mati. Justru kita berpahala menyelamatkan negeri ini." Abine bangkit meninggalkan sang istri yang tiba-tiba menangis. Wanita itu kini dipenuhi rasa bersalah. Sejak awal harusnya ia mencegah, dan menjatuhkan keinginan sang suami yang ingin mendirikan pesantren sendiri. Namun,  semua itu sia-sia baginya Salwa sudah mati.

***

Yang mereka duga terjadi. Salwa dibunuh. Beredar kabar dalam sekejap, seorang putri kyai dari pesantren Darut Thalib telah meninggal karena kecelakaan.

"Abine sangat kejam, demi uang dan ambisi kekuasaan ia tega membunuh keponakannya sendiri. Padahal dia sendiri yang terus bicara dengan menggunakan dalil-dalil." Wajah Ayash tampak serius ketika berbicara.

Ia benar-benar marah. Jika saja boleh, ingin sekali mengqisos abine dengan membunuhnya, lantaran dalam Islam nyawa harus dibayar nyawa.

Elvis tampak berpikir serius di depan laptopnya. Matanya seolah fokus pada kejadian dalam layar, tapi ia menerawang kejadian yang mungkin saja bisa ia tempuh. Kematian adalah bagian dari pekerjaan, siapa pun beresiko kehilangan nyawa jika berurusan dengan Bramanta, pun dirinya. 

"Jadi apa gadis itu benar sudah mati??" Perempuan dengan gamis berwarna dongker itu kini menatap Elvis, meminta kepastian apakah anak buah pria itu telah memperkosa dan membunuh gadis yang dimaksud?

BERSAMBUNG

Part lengkap
https://www.facebook.com/groups/1661399480661751/permalink/1817258735075824/

Susah bener cari ide, feel terutama mood dalam kondisi begini Gaes. Sampe otor sempet niat mau minta maaf, jika tidak ada lagi CB yang dilanjut. Okeh, lihat respon kalian, sambil lanjut rebahan. 😁

Salwa, Gadis tanpa KegagalanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang