HE - 8

775 79 6
                                    

⚠️Budayakan vote dan koment! Saya tidak menerima siders! ⚠️

Happy reading
.

.

.

Mata indah itu mengerjap menyesuaikan cahaya di sekitarnya yang terasa asing baginya.

Bau obat-obatan menyeruak di indra penciumannya, dinding bercat putih memadukan.

Rumah sakit, saat ini Rasya terbangun di rumah sakit dengan Nebulizer terpasang di hidung dan mulutnya. Sekujur tubuhnya sakit, tangannya bergerak memegang pelipisnya yang berdenyut sakit. Terasa ada perban membalut kepalanya dari luar hijab.

"Ssh," rintihnya.

"Kenapa bisa aku di sini? " gumam Rasya bertanya.

Ceklek

"Nona sudah bangun?" tanya seseorang yang membuka pintu ruang rawat Rasya.

"Bagaimana rasanya? Ada yang sakit atau ada keluhan?" lanjutnya bertanya. "Tadi ada seorang pemuda membawa nona dalam keadaan pingsan. Asma nona kambuh lagi dan tulang rusuk nona sedikit cidera tadi karena benturan yang sangat keras," ujar doker itu.

"T-terima kasih dok," ucap Rasya berterimakasih walaupun terbata-bata.

Dokter itu mengangguk. "Sebentar lagi dokter Ayu datang, dokter pribadi nona tadi saya menghubungi beliau," beritahunya.

Rasya mengangguk sebagai jawaban. "Sekarang nona istirahatlah terlebih dahulu nanti nona 4 jam yang akan datang menjalani tahap Nebulizer tahap kedua!"

"Makasih ya dok mau menolong saya," ucap Rasya.

Sang dokter mengangguk dan tersenyum lalu pamit keluar meninggalkan Rasya untuk beristirahat.

"S-sakit ya Allah," rintih Rasya dengan suara tertahan.

"Kenapa kakak benci sama Aza?" pertanyaan itu yang selalu ia tanyakan dalam diamnya.

"Kenapa kakak ga pernah sayang sama Aza?" pertanyaan itu yang selalu ingin ia tanyakan kepada kakaknya.

"Kenapa Aza yang di salahkan atas meninggalnya Mama Papa?" kalimat itu yang selalu ingin ia utarakan namun apalah dayanya.

"Bahkan Aza belum lihat wajah Mama dan Papa, Aza mau bertemu mereka, tapi.... hikss," isak tangis Rasya keluar terdengar pilu.

Menenggelamkan wajahnya di lipatan lutut ia menangis sejadi-jadinya. "Hikss, Aza salah apa sama kalian hikss, kenapa kalian selalu gini sama Aza?" tangisnya pilu. "Aza cuma mau kalian sayang sama Aza, gak lebih hiks," harapannya selama ini hanyalah itu.

"Aza capek harus seperti ini, Aza capek harus pura-pura kuat," tangisnya.

Cukup lama Raysa menangis pilu hingga ia terlelap lelah akibat banyak menangis. Seseorang di luar pintu mendengarkan semua keluh Rasya, hatinya teriris mendengarnya. Merasa iba terhadap Rasya yang selalu mendapat perlakuan buruk dari keluarganya.

Herida Eterna (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang