Chapter 07

745 149 9
                                    

Percikan kegembiaraan samar seperti sedang meletup-letup dalam dadaku saat aku berkata, "Panggilan resmi kepada Jeon Jungkook si Mesum dengan otak sebesar biji jagung, tolong ambilkan biskuit di atas meja untukku. Ini perintah."

Detik itu, aku mulai berpikir kalau jatuh sakit sesekali itu ternyata tidak buruk-buruk juga. Tubuhku sakit, iya. Kepalaku pusing, iya. Aku juga tidak akan berencana mengulangi hal ini dalam waktu dekat. Namun, selalu ada hal baik di balik hal buruk, bukan? Aku yakin begitu. Sebab kendati kalimat yang kuucapkan setengah mati terdengar menjengkelkan, pemuda yang kupanggil tersebut tetap menolehkan wajah dari playstation yang sedang ia mainkan dengan ekspresi kesal lalu mendesis, "Serius?" katanya tak terima.

Aku terkekeh sekali. "Apa yang salah?"

"Aku bahkan membolos dua kelas sekaligus hari ini dan itu yang kau katakan padaku?"

"Kau kau memang merasa keberatan menjagaku, kau boleh pergi kapan saja, Jung. Aku tidak akan memaksamu tinggal di rumah hanya karena Mama bilang begitu. Yang penting Minhee tidak ada di sini, itu sudah lebih dari cukup," balasku tenang lalu mengendikkan bahu. Aku menarik selimut untuk membungkus diri lebih erat sementara Jungkook duduk di atas karpet di sisi sofa ruang tengah di mana aku berada. Kulanjutkan kalimatku tenang, meliriknya jahil dan sengaja berkata, "Lagi pula ini hanya demam biasa. Istirahat satu hari juga pasti sembuh. Kalau membutuhkan apa-apa, aku akan memanggil Taehyung untuk menggantikanmu. Aku yakin dia akan ada di sini kurang dari sepuluh menit. Uhh, mana ya, nomornya—"

"Hentikan." Jungkook mendecih. Jemarinya berhenti menari di atas joystick dan terang-terangan menatap tidak suka. "Lupakan. Tidak perlu memanggil kekasih anehmu kemari. Aku akan ada di rumah sampai Mama pulang."

Oh, ternyata dia benar-benar percaya kalau aku berkencan dengan Taehyung. Padahal aku belum mengatakan apa pun dan dia juga tidak bertanya apa-apa. Sialnya, bibirku mendadak berusaha keras untuk tak tertawa, berdeham sekali, lalu membalas, "Ya sudah, deh. Maaf. Kalau begitu Kakak, ambilkan aku biskuit, ya? Tolong."

Kakakku mendadak menyipitkan satu mata. Curiga setengah mati dan seketika menatap horor seolah aku baru saja mengaku dosa dan akan menusuk hidungnya menggunakan garpu. Memoriku tidak bisa mengingat kapan terakhir kali memanggilnya begitu. Eh, apa saat aku meminta maaf karena membuatnya terjatuh dari sepeda sampai mendapatkan lima jahitan di kepala itu dihitung, ya?. Namun, tatkala melihatku menahan tawa, dia mendadak bergidik.

Sebagai balasan atas ucapanku, Jungkook hanya menatap tak habis pikir dan menyambar seplastik biskuit madu yang berada di atas meja. Ada banyak sekali makanan di sana. Aku tidak tahu apa yang salah denganku, tetapi aku ingin menelan lebih banyak makanan saat aku sakit. Kurasa itu bukan hal yang buruk. Mungkin.

"Kau tahu," dia mendesah pendek. Diletakkannya biskuit tersebut di pangkuanku dan menyorotku dengan pandangan tak percaya. "Orang sakit harusnya tidak makan sebanyak ini."

Aku menatapnya dengan satu alis terangkat. "Jadi, kau mau aku tidak makan? Baiklah, kalau begitu aku juga tidak mau—"

"Tidak, tidak, tidak. Mama akan membunuhku nanti. Makanlah yang banyak," dia memotong, menyahut asal-asalan. Sepasang irisnya kembali menghadap game dan mengabaikanku kembali saat melanjutkan kurang ajar, "Jangan lupa konsumsi susu strawberry sebanyak mungkin agar dada itu bisa tumbuh dengan baik. Laki-laki suka dada besar."

"Ew, ew, ew." Aku mengernyit jijik padanya, melirik dadaku sendiri dan mendadak terdiam. Menatap punggungnya dari atas sofa, mataku menyipit tatkala bertanya, "Jadi, kau juga suka yang berukuran besar?"

"Bisa iya, bisa tidak." Jungkook mengendikkan bahu. "Kenapa tidak kau perlihatkan punyamu dulu? Aku jadi punya lebih banyak refrensi sebelum memilih mana yang terbaik."

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang