Chapter 27

705 80 5
                                    

Pamflet yang menampilkan reklame bangunan kosong yang disewakan tersebut seperti dihempaskan secara sengaja oleh angin; menghantam kedua kaki Jungkook yang menjejak keluar dari penginapan lalu jantungnya sejenak berhenti berdetak.

Ini barangkali memang akan terdengar amat sangat tidak masuk akal. Namun, untuk sejenak di sana, pemuda tersebut benar-benar berpikir bahwa badai tengah berusaha menuntun mereka untuk pergi ke sebuah tempat. Atau lebih tepatnya, sesuatu ingin ia menemukan di mana Jian serta Jimin sedang berada.

Bukan opsi yang enak didengar sama sekali.

"Ayo," katanya. Jungkook merapatkan tudung jas hujan di atas kepala, melirik ke belakang punggung dan menemukan bapak penjaga pintu tengah menatap ia dengan Taehyung dengan pandangan tak mengerti. Tentu saja. Azazel. Pengeringan darah. Park Jimin dan Jeon Jian. Itu semua memang agak sulit dicerna. Apalagi hanya orang setengah waras yang akan memutuskan untuk pergi dalam cuaca seperti ini. Jungkook barangkali memang sudah tak sepenuhnya waras. Ia berada dalam titik dimana kesadaran kepalanya memang patut dipertanyakan.

"Ini jelas bukan ide bagus," suara Taehyung terdengar bergetar. Kendati ia sudah mengganti pakaiannya dengan kaus kering yang diberikan oleh pihak penginapan, tubuhnya masih tidak berhenti menggigil dingin. Kedua pemuda itu mengarahkan senter menerangi jalanan yang gelap. Awan kelabu pekat masih bergulung di atas kepala, angin bersama air hujan seolah merajam kulit yang ditutupi jas hujan sewarna lumpur. Melintasi areal parkir Oryukdo Skywalk, Taehyung kembali melanjutkan ngeri, "Aku punya firasat bahwa kita sedang menyongsong maut."

Jungkook menahan napas. "Kita barangkali memang sedang menyongsong maut."

Taehyung mendesah. Gelenyar kematian seperti mengecup kedua netranya. Ia merapatkan jas hujan, melangkah menembus hujan saat Jungkook mendahului bersama gulungan angin yang terus menghantam. Jungkook tidak banyak bicara. Namun, beberapa kali kedua pemuda tersebut harus berhenti berjalan, meneguhkan diri dengan mencengkeram apa saja yang berada di sekitar mereka agar tak terseret lalu kembali berjalan dengan terseok-seok. Jika saja mengemudikan mobil tidak akan membahayakan nyawa siapa pun, Jungkook bersumpah bahwa satu kendaraan saja akan sangat membantu. Masalahnya si Kim juga meninggalkan mobilnya di sudut sana, berkata bahwa ia nyaris tergelincir dan itu bukan ide yang bagus.

Dalam remang cahaya senter yang hanya sanggup membantu sekelumit saja, Jungkook lantas mengingat bahwa Taehyung juga sempat berkata kalau Jimin menyebutkan sebuah gedung tua di areal Oryukdo—tak jauh dari lokasi di mana skywalk berada. Si Park bodoh itu menolak bahwa Taehyung akan mengantarnya pergi. Entah apa yang sudah Jian katakan padanya, tetapi Jimin seolah baru saja disuguhi ancaman bahwa akan ada seseorang meninggal—ironis memang, mengingat nyawanya sendiri yang sedang terancam.

Jadi, kembali pada lokasi jika kiranya mereka menyisir tempat ini, kemungkinan Jungkook bisa menemukan lokasi yang dimaksud cepat ataupun lambat. Apalagi memang tak banyak bangunan terbengkalai, bukan? Mencengkeram pamflet di tangan lebih erat dan melirik Taehyung yang tengah berusaha melangkahkan kaki, Jungkook dalam benak lebih mencemaskan apa yang akan mereka hadapi nanti.

Bagaimana jika ada yang terluka?

"Di sini?!" pekik Taehyung tatkala Jungkook mendadak berhenti melangkah. Kepalanya mendongak menatap sebuah bangunan berlantai tiga yang berada di sudut jalanan; menjorok jauh mendekati lapangan luas yang seolah melambaikan atmosfer keruh padanya. Angin berusaha membawa tubuh, dalam satu waktu juga sukses membuat betis Taehyung serasa setengah lumpuh. Giginya saling bergemeletuk tatkala melanjutkan, "Kau yakin di sini tempatnya?"

Jungkook memalingkan wajah, menatap kelabu. "Aku tidak tahu," sahutnya. Wajah pemuda tersebut basah kuyup karena hujan. "Tapi perasaanku seperti berkata ada sesuatu di sini. Kau tidak melihat ada bangunan terbengkalai lain juga, bukan?"

The IssuesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang