Secara naluriah, aku hampir berpikir kalau Taehyung itu merupakan seorang putra Loki dari mitologi Nordik. Sikapnya bisa jadi sangat menawan kalau dia mau. Tutur kalimat yang manis dan sedap diteguk, bibir yang tersenyum tulus, mata yang tak luput menatap dengan begitu jernih—dia seolah mendadak menjelma menjadi manusia yang dipenuhi serbuk opium bagi mereka yang tak mengenal seperti apa rupa sebetulnya. Candu bukan main.
Well, kenapa kubilang begitu? Sebab itulah yang si Kim tersebut lakukan tatkala Mama pulang ke rumah dan mendapati anak-anaknya sedang dicekam temperatur udara yang mencekik.
Mama hanya membutuhkan waktu kurang dari 30 menit untuk mendeklarasikan pendapatnya padaku dengan sebuah bisikan, "Pilihan yang bagus, Sayang. Dapat darimana kekasih yang seperti itu? Tipikal menantu idaman, memang."
Aku hampir mati tersedak jus alpukat dan menukas, "Bukan kekasih!"
"Jadi? Calon suami?"
"Mama!" Kutemukan suaraku jadi berbisik panik dan mengibaskan tangan, melirik ke meja makan di mana Jungkook serta Taehyung membicarakan sesuatu yang aku tidak ingin tahu apa itu. Kugigit bibir bawah dalam hitungan detik, bersyukur kalau Mama tidak melihat atau mendengar apa yang Taehyung ucapkan sebelum datang tadi. "Pokoknya bukan. Dia hanya ..., kenalan."
Seulas senyum geli tersemat di bibir Mama. Perempuan itu tidak mengatakan apa-apa lagi dan kembali fokus mencuci sayuran yang sedang berada di dalam wastafel, menyiapkan makan malam untuk kami berlima setelah memaksa dengan alasan hujan di luar tidak akan berhenti dengan cepat. Pandangannya sayu, air wajahnya kuyu. Jemarinya bergerak dengan lincah dan aku nyaris tak mengenali aroma Mama.
Kapan, ya, terakhir kali kami menyiapkan makan malam bersama begini?
Ekspresi yang muncul di wajah perempuan itu pun hanya muncul secara acak, sedetik-dua detik dan perasaan bersalah kembali menghantam. Mama berusaha keras menyembunyikan kesedihannya pasca kepergian Ayah. Jangan salah kira, aku tahu itu. Jungkook juga, barangkali. Kami tidak pernah membahasnya setelah diskusi malam terakhir bertahun-tahun yang lalu. Sebab mungkin itu sebabnya jauh di dalam sini, aku dan kakakku membiarkan perempuan tersebut membawa pulang lelaki yang ia sukai.
Apa saja. Yang penting Mama bahagia.
"Aku takkan melarang Mama melakukan apa yang ia suka," kataku dulu. Sekali, pada Jungkook saat ekspresinya tertekuk muram sebab menemukan Mama pergi dengan pria lain lagi di akhir pekan. "Ini mungkin memang bukan hal terbaik yang bisa dilakukan. Tetapi hanya Mama yang bisa menyembuhkan dirinya sendiri."
"Kau tidak keberatan Mama bertingkah seperti itu?"
Aku menatap Jungkook dengan kening berkerut. "Kalau aku keberatan, memangnya apa yang bisa kulakukan? Satu-satunya alasan mengapa ayahku pergi meninggalkan Mama adalah karena diriku. Jika saja aku tidak lahir, maka Mama bisa hidup lebih bahagia dan Ayah juga tidak akan—"
Tidak akan pergi.
Kemudian setelah mendengar jawabanku, aku menyadari bahwa Jungkook tak pernah membawa topik tersebut naik ke permukaan lagi. Kalau kupikirkan lebih jauh lagi, meski Mama, Jungkook juga diriku tidak memiliki hubungan yang buruk, kami juga sepertinya tidak berada di dalam fase 'sempurna dan baik-baik saja', bukan?
Benar.
Aku menghela napas perlahan. Semua halaman mengenai hal-hal tersebut kemudian terputus saat Minhee keluar dari kamar mandi dan memberikan bantuan untuk memasak makan malam. Mama menyambutnya, tentu saja. Sudah kubilang belum, kalau hubungan mereka berdua juga tidak buruk? Namun yang lebih beruntung, aku bersyukur tidak ada insiden saling mencekik dan melibas kepala dengan pisau dapur selama Taehyung ada di satu meja makan bersama kami semua. Mama memberikan perhatian yang cukup—semuanya sama rata, baik kepadaku, Jungkook, Minhee, atau pun si Kim.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Issues
FanfictionJika dilihat sekilas saja, tak ada yang mengira bahwa ada yang salah dengan Jeon Jungkook serta Jeon Jian. Kedua bersaudara tersebut terlihat sebagaimana wajarnya seorang kakak dan adik perempuan. Namun apabila diperhatikan sedikit lebih cermat, kau...